Jumat, 21 Juni 2013

Tanpa Judul

“Kriiiiiiing… Kriiiiiiiiiiiiiing..”, terdengar suara bel dari setiap sudut kelas. Suasana sekolah yang tak berubah, tetap begitu dan begitu saja bagi mereka. Mereka ya mereka. Segerombolan anak-anak yang beranjak dewasa. Sekarang mereka sudah bukan sekadar anak SMP yang umum dengan seragam putih birunya. Mereka sudah beralih ke seragam putih abu-abu.
Jam sudah sedaritadi menunjukkan pukul 07.30 pagi, seperti biasa, hanya ada beberapa anak yang sudah bertengger manis di dalam kelas. Sisanya? Sisanya ya masih keluyuran di luar kelas, tapi ada beberapa anak yang masih menghilang. Entah kemana, antara mengisi perutnya untuk sekadar sarapan pagi di kantin atau masih nongkrong di jalan alias telat berangkat ke sekolah.
Mereka adalah yang utama. Mereka ada 5, dan diantara lima itu hanya ada satu yang utama. Lima anak laki-laki yang sekarang menginjak kelas X atau kelas 1 SMA. Dikin, Fauzi, Nurani Pratama, Aan, dan Adi. Nama yang menurut orang biasa-biasa saja, tapi jangan salah, tampang mereka luar biasa. Dengan fisik yang sempurna dan lengkap. Tampang bukan berarti wajah, tampang mereka memang lumayan. Tapi tampang yang dimaksud disini adalah kepribadian mereka.
“Tak kenal maka tak sayang”. Itu merupakan salah satu symbol bagaimana awal mulanya persahabatan kelima kaum adam itu terjalin. Dengan sifat, sikap, dan watak yang berbeda, mereka mulai saling mengenal satu sama lain. Kekompakkan mereka benar-benar luar biasa, sangat jarang terbentuk persahabatan diantara beberapa laki-laki. Tentunya, juga sangat sulit menyatukan beberapa pikiran dan pendapat yang berbeda-beda. Tapi mereka bisa, sangat bisa. Itulah sebabnya, persahabatan mereka memang benar-benar luar biasa.
Apalagi sesama jomblo, mereka jadi bebas mengekspresikan apa yang mereka rasa dan inginkan, tanpa ada kata ‘dilarang’ oleh pacar. Tapi cap ‘jomblo’ itu membuat mereka lambat laun menjadi agak miris. Pergaulan mereka menjadi tak luas, hanya itu-itu saja. Cap ‘kuper’ alias kurang pergaulan memang sangat pas untuk mereka. Tak ada yang berani mendekat, bukan berarti karena mereka adalah anak-anak yang menyeramkan, tapi karena mereka tidak membuka sosialisasinya masing-masing.
Hari demi hari berlalu. Tak terasa mereka sudah beranjak ke semester dua. Adi, laki-laki berkacamata dengan postur tubuh yang kurus namun tinggi, mulai merasakan ada keganjalan diantara teman-temannya. Awalnya ia hanya biasa-biasa saja dan menyikapi dengan sewajarnya. Ia pun juga tak banyak berkomentar. Namun kali ini, ia benar-benar penasaran.
“An, futsal kah nanti sore?”, tegur Adi saat bertemu dengan Aan di lobby sekolah.
“Wah, maaf bos.. Sore ini ada kegiatan sama anak-anak ekskul, nggak bisa kayaknya”
“Yo sip lah, gampang, nanti ku kasih tau buhannya yang lain”
“Buhannya siapa?”
“Ya siapa lagi? Buhan-buhan kita lah, memangnya buhan siapa lagi?”, Adi mengernyitkan dahinya.
“Ohh.. Kukira buhannya Andi”, jawab Aan santai.
“Lu ikut sama buhan Andi juga kah? Sejak kapan?”
“Yoyoi, baru-baru aja kok men”
“Ah lu mah nggak bilang-bilang”
“Hahaha, ngapain gue pake acara bilang segala? Memangnya ada pengaruhnya buat kalian? Toh kalian juga gak bakal gabung sama kita-kita kan? Bener nggak sob?”, jawab Aan sembari meraih sesuatu di saku celananya.
“Sorry sob kalo kata-kata gue barusan nggak enak. Tapi sejujurnya gue pengen kalian itu membuka diri, gue sudah nggak tahan diliatin mulu sama anak-anak cewek dengan tatapan sinis mereka. Gue kan keren, masa gue cuma bergaul sama kalian-kalian aja. Kita harus bergaul sama yang lain juga sob”, Aan melanjutkan.
“Haha. Makasih bro, mantep ceramahnya barusan. Ehh, duluan…”, Adi menepuk bahu Aan sembai memasuki kelasnya. Ya, mereka berlima memang tak semuanya satu kelas. Adi memikirkan kata-kata Aan sejenak. Benar juga, pikirnya. Sejak saat itulah Adi mulai tak berdiam diri lagi, ia semakin sering bergabung dan membaur dengan teman-temannya yang lain. Dan ternyata, tanpa disangka-sangka, sepertinya Adi ketinggalan berita. Empat orang sahabatnya itu ternyata juga sudah berubah, mereka sudah bisa bergaul dan membaur dengan yang lain seperti Adi.
“Kriing... Kriing.. Kriing..”, bel tanda istirahat berkicau ria. Adi hanya duduk di dalam kelas sendiri, menunggu empat orang itu, yang biasa menghampirinya ke kelas. Detik demi detik, menit, demi menit, tak ada tanda-tanda mereka akan datang. Tak satupun menampakkan batang hidungnya, Alhasil, Adi pun beranjak dari kursinya menuju keluar kelas. Baru sampai di depan pintu kelas, seseorang menghampiri Adi.
“Eh, Adi, kebetulan kamu di luar”
“Ya, kenapa Yu?”, Adi menjawab seseorang di depannya itu, dia bukan laki-laki, melainkan perempuan bernama Ayu.
“Rapat OSIS habis istirahat ya! Di tunggu di ruang media”, jawab Ayu sambil berjalan.
“Eh sekarang aja kalo bisa ke media nda papa”, Ayu melanjutkan.
“Eh.. Eh.. Tunggu Yu, ngapain? Habis ini pelajaran eksak aku”
“Rapat tentang study tour kita pas libur kenaikan kelas nanti, nda papa sudah dibikinkan surat dispen kita sama Pembina OSIS. Ayo sudah sekarang, banyak sudah yang kesana”
“Aku nunggu Aan, Dikin, Fauzi sama Nur dulu Yu, nanti aku nyusul”
“Haa??? Mereka semua sudah disana daritadi masbro!”
“Oyakah? Yasudah, aku ngambil uang dulu di tas”
“Buat apa je’ nah! Nda belanja juga toh, ada snack di kasih, tenang aja”
”Yo wes..”
Akhirnyaa Adi pun sukses membuntuti Ayu yang berjalan dengan cepatnya menuju ke ruang rapat OSIS. Dibukanya oleh Ayu pintu ruang media yang semula tertutup. Disana sudah berjejer anak-anak OSIS yang memang sudah sedaritadi berkumpul. Empat orang rekannya pun tak luput dari pandangannya. Tapi, tunggu dulu. Empat orang itu tak bersama, mereka terpisah.
“Woy! Ngapain lu betengger sendiri disini”, Adi menepuk Dikin dengan spontan.
“Hoi! Bikin kaget aja lu, kampret lu Di!”, jawab Dikin sambil mengelus-elus dadanya.
“ Hahahaha.. Sorry masbro, ngapain lu sendiri?”
“Lu gimana sih, kagak liat gue duduk manis disini menunggu sang ketua?!”
“Wuihhh, sensitip amat lu hari ini. Melankolis lu bro, awas lu, gue bakar rumah lu!”
“Halah, omonganmu Di! Ku bakar kosmu baru tau, hahaha!”, jawab Dikin dengan bangganya. Ya, Adi memang seorang anak kos.
“Eh ayo gabung sama buhannya. Itu nah dipojokan ada Fauzi sama Lea”, ajak Adi.
“Malas cuy, nda level lagi gua…”
“……”
“Ngerti kagak lu Di”
“Apaan?”, jawab Adi penasaran.
“Itu noh yang dipojok bedua lu bilang, mereka tu pacaran”
“Ahh, yang bener! Fauzi berani nembak cewek? Lea??? Lea yang dia tembak mau nerima Fauzi, seriusan lu masbro?!”
“Aku aja beberapa jam lalu taunya, nyampe depan pintu ini ruangan, aku masih belom sadar tu bedua pacaran. Ehh pas di lihat, dua insan itu sudah ada di pojokan, baru aku nyadar sesadar-sadarnya”
“Kata-katamu Kin, the best! Kamu hebat”, Adi memamerkan kedua jempol tangannya kepada Dikin.
“Elehh, aku males-malesan hari ini main futsal. Kalo cewek-cewek bilang sih badmood gitu”
“Aduh ciinn… Iiihhh bisa aja”, jawab Adi dengan gaya bencis alias banci.
“Kampret lu. Cucok deh bo’”
“Halahhh, lu aja begitu! Yo sip nda papa nda futsal hari ini. Yang lain juga pada sibuk. Tadi pagi pas ketemu Aan dia bilang sibuk ekskul”
“He’eh, Nur juga ada tugas kelompok bilangnya. Banyak yang mikirin tugas jadi ikutan pusing aku, banyak betul, tugasnya maksa-maksa lagi, nda tanggung-tanggung eh cuy!”
“Nikmatin ajalah masbro, demi nilai, bentar lagi kelas dua kita men. Penjurusan sudah, harus cari nilai bagus-bagus ini biar masuk ke jurusan yang dipilih”
“Adi.. Adi.. Lu mah enak, otak lu mulus, berjalan dengan lancar bagaikan jalan tol, dan bagaikan air hujan yang mengalir dengan deras. Lancar tanpa ada hambatan”
“Halah halah, kampret lu, bahasamu tu nah Kin! Alay cuy alay!”
“Biar aja, nda urus aku. Aku mau jadi anak kos juga kalo gitu, siapa tau otakku bisa lebih bagus kalo aku ngekos, ya kan?”
“Emak, bapak lu ada disini ngapain lu ngekos! Sialan lu, ngolok-ngolok anak kos. Lu enak tau, pulang-pulang tinggal terima beres, lah gua??? Nyuci belom, ngapa-ngapain belom”
“Londri dong mas bro londri! 6.000 sekilo men”
“Mandiri dong cuy, mandi sendiri, hahahaha!!!”
“Heheh!! Ssssttt, si ketua datang, silent please…”, tegur salah satu anggota OSIS lainnya, seketika mereka berdua terdiam dan malah saling tatap-tatapan.
Beberapa saat kemudian rapat ditutup, dengan hasil yang cukup memuaskan, yaitu mereka akan melakukan study tour saat libur kenaikan kelas. Seluruh anak OSIS setuju dan dengan senang hati mengikutinya. Satu persatu dari mereka mulai kembali ke kelas masing-masing. Adi masih bersama Dikin. Mereka hanya berdua, sedangkan yang tiga, sudah kembali ke kelas tanpa bertegur sapa. Saat itu Adi benar-benar merasa bahwa persahabatan ini mulai merenggang, ia merasa bahwa dirinya sudah tidak pantas lagi bersama keempat rekannya yang lain. Dan mulai saat itu juga, pribadi Adi berubah, ia lebih sering menutup mulutnya, dengan kata lain, Adi sudah tidak banyak berbicara.
Sekarang, Adi lebih sering sendiri. Tampak dari kejauhan, rekan-rekannya juga asyik sendiri. Namun, Adi masih disegani oleh teman-teman sekelasnya. Adi lebih sering dihampiri daripada menghampiri. Tak masalah baginya. Ia sadar, yang terpenting sekarang adalah belajar dan mulai memikirkan bagaimana kedepannya. Karena tak lama lagi, Ulangan Kenaikan Kelas akan segera menghampiri siswa-siswi tersebut.
Adi sadar, ini mungkin baru awal. Pencarian jati dirinya masih berlanjut. Jantung Adi berdegup kencang, saat ia mencoba mengingat-ingat kembali kejadian beberapa bulan yang lalu. Saat dimana ia akan menjadi murid baru di sekolahnya. Pendaftaran, adalah hal umum dan wajib dilakukan. Adi tak mengenal siapa pun saat itu dan hanya bisa menatap satu persatu wajah calon murid-murid baru. Ia tak yakin akan diterima di sekolah yang termasuk salah satu sekolah favorit itu, tapi hati kecilnya terus memaksa. Seakan cita-citanya akan berawal dari sekolah ini. Sampai pada akhirnya…
“Permisi, sendiri?”, tegur seseorang dari arah belakang.
“Eh, oh.. Iya sendiri”
“Nomor antrian berapa?”
“77, situ berapa?”
“65. Begini, saya bisa minta tolong?”
“Ya???”
“Saya harus ke toilet, saya titip formulir ini sebentar bisa?”
“Bisa sih bisa. Tapi ini sudah antrian nomor 58, sebentar lagi menuju 65? Apa nda sebaiknya di tunggu aja dulu sebentar?”, ajak Adi dengan sopan.
“Nda papa, saya harus ke toilet sebentar, sudah kebelet soalnya, titip dulu ya”, orang itu pun berlalu. Di situlah Adi mengetahui bahwa orang itu akrab dipanggil Fauzi. Dipandanginya formulir teman barunya itu dengan sesaat, sembari menunggu waktu yang ada. Jam masih menunjukkan pukul 09.00 pagi, tapi sudah banyak yang datang dan mengantri. Dan tibalah giliran si Fauzi, sedangkan ia masih belum kembali. Adi bingung dan mulai panik. Ia menatap selebaran yang ada di tangannya. Kemana si pemilik formulir ini? Nomor urut 65 sudah sedaritadi di panggil dan Adi masih dalam keadaan bingung. Akhirnya, Ia mengambil sebuah keputusan. Ia langkahkan kakinya perlahan menuju loket pendaftaran, saat ia hendak memberi formulir Fauzi tiba-tiba saja…
“Hhh…hhh…hhh… No..nomor.. Nomor ss.. Nomor saya ya??? Hhh…hhh…hhh”, Fauzi Nampak terengah-engah.
“Iya, untung saja. Ini formulirnya”, Adi memberikan selebaran itu kepada sang pemiliknya dan segera kembali ke ruang tunggu. Tak perlu menunggu waktu lama, kini Fauzi telah selesai dengan urusannya.
“Eh bro, makasih banyak tadi ya, sorry lho ngerepotin”, tegur Fauzi kepada Adi yang masih mengantri.
“Haha, nda papa nyantai aja”
“Nama, siapa nama?”
“Panggil aja Adi, kalo ketemu lagi panggil aja Adi”
“Ya pastilah ketemu lagi! Harus optimis masuk”
“Haha betul itu betul, sendiri?”
“Nggak, masih ada 3 orang lagi, urutannya ngepas di belakang saya sih tadi. Rencananya mau nitip formulir ke mereka aja, tapi mereka nggak ada eh, jadi bingung sendiri. Untung ada lu, siapa tadi namanya?”
“Adi, ohh gitu… Mungkin yang di belakangmu ini teman-temanmu?”
“Di belakang mana?”
“Ini di belakangmu sekarang?”, Adi menunjuk ke arah belakang Fauzi, Fauzi pun menoleh dengan cepatnya.
“Hoo.. Haha iya, ini teman-temanku. Dikin, Aan, Nurani Pratama”, Fauzi memperkenalkan teman-temannya satu persatu. Dari situlah Adi merasa bahwa ia tak sendiri. Ia memiliki teman sekarang. Ia tak perlu khawatir dan susah-susah mencari kenalan baru nantinya.
Ia tersenyum sesaat setelah mengingat-ingat hal itu, tak terasa, ia sudah lama bersama rekan-rekan yang baru dikenalnya di awal SMA. Mereka orang-orang baik dan sangat segan dengan Adi, hanya saja mereka sedang asyik dengan urusannya masing-masing sekarang.
Beberapa waktu telah berlalu, Ulangan Kenaikan Kelas yang akrab disapa dengan UKK juga telah berlalu. Satu persatu personil dari persahabatan lima anak laki-laki itu pun mulai kembali dan saling bertegur sapa. Mereka mulai bernostalgia kembali dan bercakap-cakap dengan santainya. Seakan mereka baru kenal kembali.
“Gimana hasil Di?”, tanya Aan.
“Ya begitu-begitu aja, masih tetap-tetap aja tapi lumayan lah ada peningkatan, kalian?”, jawab Adi santai.
“Iya bro, sama aja”, jawab Nur.
“Class meetingnya kapan, aku nda ikut rapat eh kemaren?”, balas Fauzi.
“Pacaran mulu sih lu, kewajiban dilupain!”, ucap Dikin yang memang memiliki watak ceplas ceplos.
“Hah nda usah diingat-ingat lagi, males. Ternyata punya pacar atau nggak, tetep aja gue keinget terus sama kutukupret kayak kalian ini”, jawab Fauzi.
“Sialan lu Zi! Cieee… Ada yang marahan nih sama ceweknya”, goda Nur ikut-ikutan.
“Bukannya gitu, gue lambat laun sadar, kita semua udah lama gak bareng-bareng lagi men. Nyadar nggak sih? Biasanya main futsal bareng, begitaran sama vokalis kita nih si Adi, ngambur kosnya Adi. Gue kangen sob!”, jawab Fauzi panjang lebar.
“Ohh, jadi kalian juga mikirin hubungan kita yang merenggang ini toh? Kirain kalian sudah bener-bener lupa, lupa, dan lupa”, jawab Adi yang sedaritadi hanya bisa diam.
“Hubungan??? Bahasamu ngeri eh sekarang Di, haha”, cetus Aan. Hari itu pun berlalu begitu saja Hingga tiba saatnya, dimana mereka harus melakukan kegiatan study tour di luar kota.
“Ehh ehh.. Foto bareng dulu, kita nda punya satu pun foto berlima kan? Buat kenang-kenangan”, ajak Aan kepada keempat sahabatnya itu. Mereka pun berpose ria layaknya seorang model laki-laki, benar-benar kelakuan yang ada-ada saja. Dengan gagahnya mereka menampilkan ekspresi yang membuahkan hasil terbaik.
“Gila… Kalau berlima gini, gue ingat waktu Fauzi nitipin formulirnya ke gue gara-gara kebelet, kocak banget waktu itu dia ngos-ngosan dari toilet. Mukanya Fauzi bener-bener panik”, Adi berbicara sambil memandangi foto-foto mereka barusan.
“Hahaha! Masih ingat aja lu, kalo nggak gitu, mungkin kita nggak kayak sekarang ini. Mungkin kita nggak pernah kenal”, jawab Fauzi.
“Mungkin kenal aja, tapi nggak seakrab gini…”, Nur ikutan nimbrung.
“Woy bro! Jangan sibuk sama urusan sendiri makanya, gue sedih nih, terharu kita berlima bisa sama-sama lagi…”, ucap Dikin.
“Buset dah Dikin, cengeng amat lu”, cetus Nur.
“Nda terasa kita sudah memasuki kelas dua ya? Nda lama lagi kelas tiga, terus ujian”, Adi mengalihkan pembicaraan.
“Iya, jalani aja apa yang ada, sukses untuk kita semua!”, tegas Aan.
Hari itu benar-benar hari baru buat mereka berlima. Mereka berhasil melepas kepenatan yang ada selama duduk di kelas satu. Suasana hari itu sangat cerah, secerah persahabatan kelima kaum adam tersebut. Suasana mengharukan juga tak luput dari mereka, karena Dikin. Si cowok cuek dan ceplas ceplos, tetapi mudah tersentuh hatinya. Akhirnya mereka bisa tertawa bersama lagi. Pada dasarnya itu semua hanya tentang waktu. Dan mereka berhasil menemukan waktu mereka.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar