“Kriik… Kriik… Kriikk…”,
terdengar suara jangkrik dari halaman rumah itu. Masih pagi, jam masih
menunjukkan pukul 08.00 tepat. Sena, seorang gadis bertubuh mungil sudah
sedaritadi berdiri di ruang tamu. Berulang kali ia menolehkan kepalanya ke
sekeliling rumah itu. Rumah yang tak asing baginya. Sejenak ia menyadari
hal-hal yang terasa biasa untuknya. Yaitu keadaan rumah yang selalu berantakan
di pagi hari.
“Hmmpphh… Selalu saja”, Sena
mengendus kesal. Kebiasaan orangtuanya yang selalu pergi bekerja dengan
terburu-buru, sehingga membuat keadaan rumah seperti kapal yang hampir pecah.
Orangtuanya memang sengaja, karena tau kalau Sena akan segera membereskan
seluruh ruangan rumah sampai rapi dan enak dipandang mata. Tapi itu sudah tak
akan lagi terjadi.
Kembali Sena melihat
sekelilingnya. Di dalam rumah itu masih terdapat 13 ekor kucing-kucing
kesayangannya. Ia tersenyum lebar melihatnya. Tak lupa, beberapa ekor burung
yang sedang sibuk bersiul, juga tak luput dari pandangannya. Sepertinya
binatang-binatang itu sangat senang dengan kedatangan tuan rumahnya yang sudah lama
pergi dan kembali lagi.
“Sepi…”, Sena bergumam sambil
mengelus kucing-kucingnya. Sena memang gadis yang pendiam. Ia tak banyak
melakukan kegiatan di luar rumah, karena sifatnya yang pemalu. Sena juga
merupakan anak tunggal di keluarga itu. Ya, memang anak tunggal. Tak tau pasti,
sampai kapankah gelar ‘anak tunggal’ itu masih akan menempel pada dirinya.
Sena beranjak dari tempat semula,
menuju salah satu ruangan. Ruangan persegi yang berada di sudut rumah.
Tepatnya, kamarnya sendiri. Kamar itu sangat rapi, sebagaimana kamar perempuan.
Sebuah lemari pakaian berdiri di salah satu pojok ruangan. Lemari itu
bertutupkan tiga buah pintu, dengan pintu tengah yang dilapisi sebuah kaca
panjang, sehingga siapapun yang berada di depannya dapat melihat pribadinya
sendiri dengan utuh.
Di seberangnya, terdapat sebuah
kasur dengan ukuran untuk satu orang. Berlapiskan sprei dan selimut tebal
berwarna pink yang dipadupadankan dengan warna biru laut. Tak lupa dengan
deretan boneka yang berjejer diatasnya. Ada boneka doraemon, spongebob, boneka
beruang, boneka kucing, dan masih banyak lagi, tentunya dengan berbagai ukuran
yang berbeda pula.
Beralih ke tempat lain, masih
dalam ruangan yang sama. Di samping kasur terdapat satu buah meja kecil dan
terdapat sebuah lampu tidur di atasnya. Berjejer pula beberapa bingkai foto
yang memenuhi meja mungil itu. Semuanya berisikan tentang masa kecilnya. Sebuah
buku diary juga bertengger manis di samping lampu tidur.
Tak lupa, sebagai pelajar, ada
sebuah meja dan kursi belajar di dalam kamar itu. Letaknya juga di sudut,
sehingga di tengah-tengah kamar tersebut menjadi lowong, kosong, hampa, hanya
sebuah ambal kecil yang tergeletak pasrah di lantai. Tidak seperti gadis-gadis
pada umumnya, yang mengisi meja belajarnya dengan beberapa tumpukan majalah dan
tabloid. Gadis itu tak punya majalah, ia tak selera dengan majalah dan tabloid.
Alhasil, banyak tumpukan novel dan komik disana.
“Nggak berubah… Masih sama”, Sena
bergumam sendiri. Ia segera beranjak dari kamarnya menuju ruangan lain, yaitu
dapur. Disana masih tergeletak piring-piring, gelas-gelas, dan perkakas dapur
lainnya, tanpa perubahan apapun, semenjak dua tahun yang lalu. Dilihatnya dua
buah sapu yang bersandar di dinding, tanpa pikir panjang Sena langsung meraih
salah satu di antara mereka. Sena mulai membersihkan ruangan demi ruangan yang
ada.
Beberapa jam berlalu, kini Sena
sudah berada di kamarnya sendiri, tergeletak pasrah di atas kasur empuknya. Jam
di kamar menunjukkan pukul 13.10. Belum terlalu siang. Sena gelisah, bingung
apa yang harus ia lakukan sekarang dan beberapa jam ke depan. Waktunya tak lama
lagi. Ia mulai bosan, sangat-sangat bosan. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk
beranjak dari tempat tidurnya menuju meja belajar. Di usap-usapkan tangannya ke
novel-novel yang ada. Novel, komik, dan beberapa buku pelajaran lebih tepatnya.
Mereka semua penuh dengan debu bahkan sudah sedikit usang.
“Aku sepiii… Bukan sedih…”,
matanya mulai menitikkan beberapa tetes air mata yang mengucur dari kedua mata
indahnya. Lama-lama semakin deras dan tak terbendung lagi. Entah apa yang
membuatnya menangis, tapi ia memang sedang memandangi sebuah bingkai foto yang
berisikan fotonya beserta kedua orangtuanya. Batinnya terasa kaku saat itu
juga, Sena yang dikenal sebagai gadis pendiam sekarang bisa meluapkan apa yang
ada di hatinya. Perasaannya benar-benar kacau, sampai ia tak kuasa menahan
tangisnya.
“Kenapa! Mereka gak peduli… Ini
semua percuma!”, dengan suksesnya Sena berhasil marah-marah sendiri.
“Bodohhh…!!! Kamu bodoh Sena! Apa
yang kamu lakukan disini?! Mereka semua nggak akan peka lagi sama kamu, nggak
akan!!!”, Sena melanjutkan.
“Aku sepiii… Sepi sekali disana…
Aku sendiri, tanpa teman… Kkaliannn, kaliaann memang jahat! Kalian mikirin diri
sendiri… Aku capek, Sena capek! Kalian nggak pernah perhatian sama Sena! Kalian
nggak tau apa-apa tentang Sena!!!”, ia terus memaki-maki dua orang yang ada
dalam foto tersebut, siapa lagi kalau bukan kedua orangtuanya.
Sena tampak sangat frustasi, ia
menghampas bingkai foto cantik itu dengan kasarnya hingga jatuh ke lantai dan
sukses pecah dengan seketika. Ia terus-terusan menyalahkan kedua orangtuanya.
Sakit hatinya masih terasa, apalagi ketika ia mengingat-ingat kembali kejadian
sekitar dua tahun yang lalu. Kejadian yang benar-benar membuat kedua
orangtuanya tercengang dan menyesal sampai sekarang.
“AAAAAHHH…….!!! Aku nggak mau
ingat lagiii, nggak mauuu!!!”, Sena menutup telinganya dengan kedua tangannya.
Ia menyandarkan dirinya di dinding kamar, lebih tepatnya di sudut kamar.
Beralaskan lantai yang dingin, Sena duduk berjongkok di atasnya. Kakinya
bersentuhan langsung dengan lantai, sehingga ia bisa merasakan dinginnya lantai
yang ada. Masih dalam keadaan menutup telinga. Tapi kali ini, ia sudah tak
menangis lagi. Tapi sangat jelas terlihat, matanya sangat sembab sekarang.
Sena berdiri dan malah duduk
berjongkok di belakang pintu kamar, sembari membuka sebuah bungkusan makanan
penutup, penutup untuk hari itu. Sena selalu berharap, malam-malam, bahkan
hari-hari seperti ini tak pernah datang lagi. Tidak pernah berhenti mencari
kedamaian, yang telah ia nantikan berlama-lama. Diambilnya serpihan-serpihan
makanan yang jatuh ke lantai, sangat sayang bila tak diambil, fikirnya.
Langsung ia makan dan tak peduli apakah itu masih bersih atau tidak. Sekali
lagi, mereka jatuh, dan segera Sena ambil sebelum lima menit, batinnya. Saat
Sena terbangun dari duduknya, ternyata serpihan-serpihan itu masih banyak,
kembali Sena merunduk dan mengambilnya. Segera dimasukkan ke dalam mulut
mungilnya, berharap serpihan itu akan mengenyangkan perut kosongnya. Agar ia
tak perlu bersusah payah makan malam dengan suasana memilukan nantinya.
Meskipun hanya serpihan keripik pedas yang ada di sebuah toples dapur yang
diambilnya saat membersihkan rumah tadi.
Tak ada satu pun kata-kata yang
terlontar dari mulut Sena saat itu. Terkecuali ketika ia mengingat
omelan-omelan belaka yang biasa terlontar dari Ayah dan Ibunya kepada Sena.
Sudah sangat renyah terdengar di telinganya. Sungguh gadis yang malang. Sena
selalu benci keadaan seperti ini, dan berharap jam di dinding berputar lebih
cepat agar Sena bisa bergegas pergi tidur, tidurnya yang panjang dan menjumpai
apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Masa dimana Sena benar-benar bisa
pergi dengan bebasnya, dan menemukan kehidupan baru. Biar saja mereka
menyebutnya orang bodoh. Sena sudah biasa dengan kata-kata itu. Toh, mereka
juga tidak akan peduli dengan banyaknya tetesan air mata yang keluar dari mata
Sena hanya karena mereka. Untuk apa Sena bersusah payah mendengarnya, ini adil,
bagi Sena.
“Mereka jahat… Mereka nggak
ngerti… Aku sakittt!!! Aku sakit… Hhhh… Hhhh… Hhhh…”, dada Sena mulai terasa
sesak.
“Aku sadar, sadar sekali! Aku
tau diri kok, aku nggak perlu lagi datang kesini…”
“…”
“Tt..ttaappi.. Tapi aku sepi”,
Sena kembali menangis tak karuan. Ia beranjak dari tempatnya menuju tempat
tidur. Membiarkan dirinya beristirahat sejenak dengan pikiran-pikiran kacaunya.
Dipandanginya satu-satu boneka yang berjejer di samping-sampingnya. Hanya
dengan tatapan kosong. Lama-lama matanya mulai terpejam dan membuatnya tidur
dengan cepatnya.
“AAAHHH…! Nggak bisa!!! Ini
mimpi buruk! Ini nggak bener, aku nggak boleh kesini…!!!”, tiba-tiba matanya
terbelalak dan mengucapkan kata-kata itu.
“Tapi, aku capek… Tahun kemaren
adalah tahun yang hampa. Mereka tak menyadariku.. Apa mereka masih
mengingatku???”, ucapnya perlahan.
“Tik… Tik… Tik…”, hanya suara jam
dan kesunyian yang terjadi sesaat setelah itu. Sena berkali-kali
membolak-balikkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Sena mulai menekan keras
kepalanya. Bayangan tentang kejadian dua tahun yang lalu itu, masih terus
bergelayutan di pikirannya. Ia ingin melupakan kenangan-kenangan pahit itu,
mengingatnya saja Sena sudah tak sanggup, apalagi kalau ia harus merasakan
kepahitan itu sekali lagi.
“Praannggg…”, sebuah bingkai foto
lagi, berhasil mendarat di lantai. Dan itu adalah foto Sena sendiri. Seketika
alam pun ikut termenung, tak lama setelah itu, hujan deras turun menyapa bumi,
disertai gemuruh dan langit yang mulai menghitam.
“Ahhhhh… Aku bosannn! Apa yang
harus kulakukan??? Apa mereka ingat denganku… Ingatkah mereka denganku???
Mungkinkah bayanganku saja sudah tak ada lagi di hati mereka? Haruskah aku
pergi sekarang???”, Sena terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh.
“Sepertinya, alam sudah
menyuruhku pulang…”, Sena melanjutkan.
Di luar sana, hujan turun dengan
derasnya. Sena mulai beranjak dari tempat tidurnya. Selangkah demi selangkah ia
mulai mengitari dan menyusuri setiap sudut kamarnya. Memandangi satu per satu
apa saja yang ada disana. Ia mulai membuka pintu kamar. Ada segenap perasaan
sedih disana. Kakinya mulai melangkah menuju ke ruang keluarga. Di tatapnya
sederetan foto yang terpampang di dinding, tak ada foto dirinya disana. Satu
pun sudah tak ada, padahal dulu banyak sekali.
“Haha.. Hah.. Mereka memang sudah
lupa…”, ucapnya sambil tertawa, tawa yang menyiksa.
Burung-burung di rumah itupun
juga ikut berkicau sejadi-jadinya. Seakan-akan mengucapkan ‘Selamat Tinggal’
kepada Sena. Seketika Sena memandang ke arah luar rumah. Sebentar lagi ia akan
basah. Jam menunjukkan pukul 17.05 sore. Tetesan hujan itu seperti sudah
menantinya.
“Tak perlu menunggu waktu lagi…
Waktuku memang sudah habis”, Sena bergumam. Kali itu ia benar-benar meraih
gagang pintu rumahnya dan perlahan mulai membukanya meskipun dengan gerakan
lambat.
”Aku bingung kenapa aku tidak
bisa menangis kali ini. Meskipun sudah mengeluarkan beberapa tetes air mata,
tetap saja masih belum cukup bagiku. Hati ini rasanya benar-benar terkoyak. Aku
ingin menangis sekarang hingga tersedu-sedu. Aku ingin berteriak. Aku ingin
berlari jauh sekencang-kencangnya sampai aku tak mampu melangkahkan kaki ini
lagi. Aku ingin sendiri. Aku ingin… Aku ingin… Aku benar-benar ingin… “
“…………”
“Tapi aku tak ingin sepi…”
“Aku ingin sendiri”
“Tanpa sepi”
“Aku bukan sedih”
“Tapi aku sepi…”
“Ini bukan keinginanku…”
“Kalian yang membuatku begini”
“Sampai jumpa…”
Ketika Sena sudah berada di luar
rumah, ternyata suara langkah kaki dari kejauhan mulai terdengar. Ya,
orangtuanya sudah pulang dari bekerja. Sena hanya memandangi mobil orangtuanya
yang mulai masuk ke garasi. Mereka masih terlihat biasa, tak menyadari apa yang
terjadi. Saat itu hujan turun semakin deras. Ibunya berlari kecil menuju pintu
rumah. Tunggu dulu, hanya Ibunya yang menuju pintu rumah. Tapi dimana Ayahnya?
“Papa mana Ma?”
Diam dan hening sejenak. Perlahan
Ibunya mulai membuka mata lebar-lebar dan menatap Sena dengan tatapan tidak
menyangka.
“HAH…! Kka… Kkamuu… Kenapa???”,
sontak Ibunya kaget melihat kedatangan Sena yang tak diduga-duga itu.
“Mama ingat?”
“Kkamuu!!! Kenapa kamu datang
Sena…??? Kenapa bisa kesini…”, jawab Ibunya ketakutan.
“Haha.. Hahaha… Kenapa??? Mama
tanya aku kenapa!!! Harusnya aku yang tanya, kenapa Mama nggak pernah peduli
sama aku!! Hoo… Bukan cuma Mama, aku baru ingat bukan hanya Mama, tapi Papa
juga!”, jawab Sena kasar.
“Maafkan Mama nak… Maaf sayang…
Maaf… Mama menyesal sekali…”, Ibunya tiba-tiba terduduk lemas dan terpaku dan
menangis sejadi-jadinya melihat Sena kembali.
“Maaf…??? Apa kalian tidak merasa
dengan kedatangan ku tahun lalu! Tepat di tanggal yang sama dengan hari ini,
tanggal 21 Oktober! Apa kalian ingat dengan hari itu??? Hah!!!”
“………”
“Tahun lalu aku kesini juga,
tahun lalu aku 16 tahun! Dan hari ini… Hari ini tepat dimana aku berulang tahun
ke 17 Ma! Mama nggak pernah ingat kan??? Mama nggak tau kan, setiap tahun aku
selalu nungguin kejutan dari kalian, kejutan di hari pertambahan umurku! Aku
benar-benar menantikan sweet seventeen ku dari dulu… Tapi kalian membuatnya
berantakan!!! Aku nggak akan bisa ngerayain itu, nggak akan bisa!!! Sampai
kapan pun nggak akan!!!”, Sena meluapkan emosinya dengan kasar.
“Sena sayang… Maafkan Mama dan
Papa nak, kalau saja kami lebihh.. Lebih memperhatikan kamu… Pasti… Semua
ini…”, Ibunya berbicara terbata-bata sambil terisak.
Tapi, sore itu ada yang berbeda.
Sena kembali menyaksikan senja kuningnya. Sena merasa seperti dilahirkan kembali.
Saat Sena sadar, ketenangan ini masih bersamaya. Ketenangan untuk
selama-lamanya.
“Aku pergi Ma… Waktuku sudah
habis… Aku harus kembali dan nggak akan kembali kesini lagi… Impianku sudah
terwujud, bisa memberitau kalian tentang umurku sekarang, aku senang akhirnya
aku dewasa… Makasih Ma… Makasih…”, Sena mulai beranjak pergi dan mulai
menghilang dari pandangan Ibunya, menghilang di tengah-tengah barisan guyuran
hujan yang membasahi Sena saat itu. Ibunya masih terduduk lemas di teras rumah
sambil terus-terusan menangis dan memanggil nama Sena.
“Ma! Mama kenapa Ma… Ada dokumen
Papa yang tertinggal di mobil tadi, Mama kenapa sih, Mama kenapa begini???”,
tegur Ayah Sena sembari membangkitkan istrinya itu.
“Pa… Sena Pa… Sena?”, jawab
istrinya lemas.
“Sena??? Kenapa Sena Ma???”
“Sena kembali Pa… Sena kembali…
Dia datang kesini…”
“Hah! Mama ngigau! Nggak mungkin
Ma… Itu halusinasi Mama aja… Nggak mungkin Ma! Sena kan sudah… Sena… Sena sudah
meninggal Ma! Ingat Ma…”
“Sena Pa… Sena memang datang, dia
ulang tahun hari ini Pa… Tepat di tanggal yang sama, tanggal yang sama dengan
kematiannya dua tahun lalu Pa… Mama menyesal, Mama sayang sama Sena! Tapi Mama
nggak bisa jagain dia… Mama… Mama sudah gagal Pa… Gagal”, ucap istrinya semakin
terisak.
“Sudahlah Ma… Papa juga salah,
seharusnya kita menjaga dia, seharusnya Papa nanggepin Sena saat ia
mengelu-elukan sakit di perutnya. Papa kira dia cuma sakit perut biasa, tapi
ternyata… Ternyata dia…”, ucap Ayah Sena tak sanggup.
“Kita mampu membayar orang untuk
mendonorkan ginjalnya ke Sena! Kita mampu kan Pa??? Kita bisa bayar, kita bisa…
Sena pasti akan dapat ginjal yang cocok dengannya, kita akan bayar kan Pa???
Jawab Pa jawab Mama!!!”, istrinya mengguncang-guncangkan tubuh suaminya.
“Iya Ma iya… Tapi kita nggak akan
bisa… Kita nggak akan mampu membayar waktu yang telah berlalu agar kembali!
Kita nggak bisa Ma… Kita nggak akan mampu membeli waktu. Semua yang berlalu
biarlah berlalu Ma, kita harus mengikhlaskan Sena…”, ucap Ayah Sena tegas. Sore
itu pun berlalu begitu saja, dengan senja kuning yang indah dan terpampang
pelangi disana.
*Note: guys… hargailah waktu yang ada ya, karena setiap detiknya
mengandung makna penting yang tak terduga, see you ^^
panjang betul.. hha
BalasHapusmohon maaf :'(
BalasHapus