Rabu, 19 Juni 2013

Ketika "Waktu" tidak bisa dibeli

“Kriik… Kriik… Kriikk…”, terdengar suara jangkrik dari halaman rumah itu. Masih pagi, jam masih menunjukkan pukul 08.00 tepat. Sena, seorang gadis bertubuh mungil sudah sedaritadi berdiri di ruang tamu. Berulang kali ia menolehkan kepalanya ke sekeliling rumah itu. Rumah yang tak asing baginya. Sejenak ia menyadari hal-hal yang terasa biasa untuknya. Yaitu keadaan rumah yang selalu berantakan di pagi hari.
“Hmmpphh… Selalu saja”, Sena mengendus kesal. Kebiasaan orangtuanya yang selalu pergi bekerja dengan terburu-buru, sehingga membuat keadaan rumah seperti kapal yang hampir pecah. Orangtuanya memang sengaja, karena tau kalau Sena akan segera membereskan seluruh ruangan rumah sampai rapi dan enak dipandang mata. Tapi itu sudah tak akan lagi terjadi.
Kembali Sena melihat sekelilingnya. Di dalam rumah itu masih terdapat 13 ekor kucing-kucing kesayangannya. Ia tersenyum lebar melihatnya. Tak lupa, beberapa ekor burung yang sedang sibuk bersiul, juga tak luput dari pandangannya. Sepertinya binatang-binatang itu sangat senang dengan kedatangan tuan rumahnya yang sudah lama pergi dan kembali lagi.
“Sepi…”, Sena bergumam sambil mengelus kucing-kucingnya. Sena memang gadis yang pendiam. Ia tak banyak melakukan kegiatan di luar rumah, karena sifatnya yang pemalu. Sena juga merupakan anak tunggal di keluarga itu. Ya, memang anak tunggal. Tak tau pasti, sampai kapankah gelar ‘anak tunggal’ itu masih akan menempel pada dirinya.
Sena beranjak dari tempat semula, menuju salah satu ruangan. Ruangan persegi yang berada di sudut rumah. Tepatnya, kamarnya sendiri. Kamar itu sangat rapi, sebagaimana kamar perempuan. Sebuah lemari pakaian berdiri di salah satu pojok ruangan. Lemari itu bertutupkan tiga buah pintu, dengan pintu tengah yang dilapisi sebuah kaca panjang, sehingga siapapun yang berada di depannya dapat melihat pribadinya sendiri dengan utuh.
Di seberangnya, terdapat sebuah kasur dengan ukuran untuk satu orang. Berlapiskan sprei dan selimut tebal berwarna pink yang dipadupadankan dengan warna biru laut. Tak lupa dengan deretan boneka yang berjejer diatasnya. Ada boneka doraemon, spongebob, boneka beruang, boneka kucing, dan masih banyak lagi, tentunya dengan berbagai ukuran yang berbeda pula.
Beralih ke tempat lain, masih dalam ruangan yang sama. Di samping kasur terdapat satu buah meja kecil dan terdapat sebuah lampu tidur di atasnya. Berjejer pula beberapa bingkai foto yang memenuhi meja mungil itu. Semuanya berisikan tentang masa kecilnya. Sebuah buku diary juga bertengger manis di samping lampu tidur.
Tak lupa, sebagai pelajar, ada sebuah meja dan kursi belajar di dalam kamar itu. Letaknya juga di sudut, sehingga di tengah-tengah kamar tersebut menjadi lowong, kosong, hampa, hanya sebuah ambal kecil yang tergeletak pasrah di lantai. Tidak seperti gadis-gadis pada umumnya, yang mengisi meja belajarnya dengan beberapa tumpukan majalah dan tabloid. Gadis itu tak punya majalah, ia tak selera dengan majalah dan tabloid. Alhasil, banyak tumpukan novel dan komik disana.
“Nggak berubah… Masih sama”, Sena bergumam sendiri. Ia segera beranjak dari kamarnya menuju ruangan lain, yaitu dapur. Disana masih tergeletak piring-piring, gelas-gelas, dan perkakas dapur lainnya, tanpa perubahan apapun, semenjak dua tahun yang lalu. Dilihatnya dua buah sapu yang bersandar di dinding, tanpa pikir panjang Sena langsung meraih salah satu di antara mereka. Sena mulai membersihkan ruangan demi ruangan yang ada.
Beberapa jam berlalu, kini Sena sudah berada di kamarnya sendiri, tergeletak pasrah di atas kasur empuknya. Jam di kamar menunjukkan pukul 13.10. Belum terlalu siang. Sena gelisah, bingung apa yang harus ia lakukan sekarang dan beberapa jam ke depan. Waktunya tak lama lagi. Ia mulai bosan, sangat-sangat bosan. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya menuju meja belajar. Di usap-usapkan tangannya ke novel-novel yang ada. Novel, komik, dan beberapa buku pelajaran lebih tepatnya. Mereka semua penuh dengan debu bahkan sudah sedikit usang.
“Aku sepiii… Bukan sedih…”, matanya mulai menitikkan beberapa tetes air mata yang mengucur dari kedua mata indahnya. Lama-lama semakin deras dan tak terbendung lagi. Entah apa yang membuatnya menangis, tapi ia memang sedang memandangi sebuah bingkai foto yang berisikan fotonya beserta kedua orangtuanya. Batinnya terasa kaku saat itu juga, Sena yang dikenal sebagai gadis pendiam sekarang bisa meluapkan apa yang ada di hatinya. Perasaannya benar-benar kacau, sampai ia tak kuasa menahan tangisnya.
“Kenapa! Mereka gak peduli… Ini semua percuma!”, dengan suksesnya Sena berhasil marah-marah sendiri.
“Bodohhh…!!! Kamu bodoh Sena! Apa yang kamu lakukan disini?! Mereka semua nggak akan peka lagi sama kamu, nggak akan!!!”, Sena melanjutkan.
“Aku sepiii… Sepi sekali disana… Aku sendiri, tanpa teman… Kkaliannn, kaliaann memang jahat! Kalian mikirin diri sendiri… Aku capek, Sena capek! Kalian nggak pernah perhatian sama Sena! Kalian nggak tau apa-apa tentang Sena!!!”, ia terus memaki-maki dua orang yang ada dalam foto tersebut, siapa lagi kalau bukan kedua orangtuanya.
Sena tampak sangat frustasi, ia menghampas bingkai foto cantik itu dengan kasarnya hingga jatuh ke lantai dan sukses pecah dengan seketika. Ia terus-terusan menyalahkan kedua orangtuanya. Sakit hatinya masih terasa, apalagi ketika ia mengingat-ingat kembali kejadian sekitar dua tahun yang lalu. Kejadian yang benar-benar membuat kedua orangtuanya tercengang dan menyesal sampai sekarang.
“AAAAAHHH…….!!! Aku nggak mau ingat lagiii, nggak mauuu!!!”, Sena menutup telinganya dengan kedua tangannya. Ia menyandarkan dirinya di dinding kamar, lebih tepatnya di sudut kamar. Beralaskan lantai yang dingin, Sena duduk berjongkok di atasnya. Kakinya bersentuhan langsung dengan lantai, sehingga ia bisa merasakan dinginnya lantai yang ada. Masih dalam keadaan menutup telinga. Tapi kali ini, ia sudah tak menangis lagi. Tapi sangat jelas terlihat, matanya sangat sembab sekarang.
Sena berdiri dan malah duduk berjongkok di belakang pintu kamar, sembari membuka sebuah bungkusan makanan penutup, penutup untuk hari itu. Sena selalu berharap, malam-malam, bahkan hari-hari seperti ini tak pernah datang lagi. Tidak pernah berhenti mencari kedamaian, yang telah ia nantikan berlama-lama. Diambilnya serpihan-serpihan makanan yang jatuh ke lantai, sangat sayang bila tak diambil, fikirnya. Langsung ia makan dan tak peduli apakah itu masih bersih atau tidak. Sekali lagi, mereka jatuh, dan segera Sena ambil sebelum lima menit, batinnya. Saat Sena terbangun dari duduknya, ternyata serpihan-serpihan itu masih banyak, kembali Sena merunduk dan mengambilnya. Segera dimasukkan ke dalam mulut mungilnya, berharap serpihan itu akan mengenyangkan perut kosongnya. Agar ia tak perlu bersusah payah makan malam dengan suasana memilukan nantinya. Meskipun hanya serpihan keripik pedas yang ada di sebuah toples dapur yang diambilnya saat membersihkan rumah tadi.
Tak ada satu pun kata-kata yang terlontar dari mulut Sena saat itu. Terkecuali ketika ia mengingat omelan-omelan belaka yang biasa terlontar dari Ayah dan Ibunya kepada Sena. Sudah sangat renyah terdengar di telinganya. Sungguh gadis yang malang. Sena selalu benci keadaan seperti ini, dan berharap jam di dinding berputar lebih cepat agar Sena bisa bergegas pergi tidur, tidurnya yang panjang dan menjumpai apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Masa dimana Sena benar-benar bisa pergi dengan bebasnya, dan menemukan kehidupan baru. Biar saja mereka menyebutnya orang bodoh. Sena sudah biasa dengan kata-kata itu. Toh, mereka juga tidak akan peduli dengan banyaknya tetesan air mata yang keluar dari mata Sena hanya karena mereka. Untuk apa Sena bersusah payah mendengarnya, ini adil, bagi Sena.
                “Mereka jahat… Mereka nggak ngerti… Aku sakittt!!! Aku sakit… Hhhh… Hhhh… Hhhh…”, dada Sena mulai terasa sesak.
                “Aku sadar, sadar sekali! Aku tau diri kok, aku nggak perlu lagi datang kesini…”
“…”
“Tt..ttaappi.. Tapi aku sepi”, Sena kembali menangis tak karuan. Ia beranjak dari tempatnya menuju tempat tidur. Membiarkan dirinya beristirahat sejenak dengan pikiran-pikiran kacaunya. Dipandanginya satu-satu boneka yang berjejer di samping-sampingnya. Hanya dengan tatapan kosong. Lama-lama matanya mulai terpejam dan membuatnya tidur dengan cepatnya. 
                “AAAHHH…! Nggak bisa!!! Ini mimpi buruk! Ini nggak bener, aku nggak boleh kesini…!!!”, tiba-tiba matanya terbelalak dan mengucapkan kata-kata itu.
“Tapi, aku capek… Tahun kemaren adalah tahun yang hampa. Mereka tak menyadariku.. Apa mereka masih mengingatku???”, ucapnya perlahan.
“Tik… Tik… Tik…”, hanya suara jam dan kesunyian yang terjadi sesaat setelah itu. Sena berkali-kali membolak-balikkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Sena mulai menekan keras kepalanya. Bayangan tentang kejadian dua tahun yang lalu itu, masih terus bergelayutan di pikirannya. Ia ingin melupakan kenangan-kenangan pahit itu, mengingatnya saja Sena sudah tak sanggup, apalagi kalau ia harus merasakan kepahitan itu sekali lagi.
“Praannggg…”, sebuah bingkai foto lagi, berhasil mendarat di lantai. Dan itu adalah foto Sena sendiri. Seketika alam pun ikut termenung, tak lama setelah itu, hujan deras turun menyapa bumi, disertai gemuruh dan langit yang mulai menghitam.
“Ahhhhh… Aku bosannn! Apa yang harus kulakukan??? Apa mereka ingat denganku… Ingatkah mereka denganku??? Mungkinkah bayanganku saja sudah tak ada lagi di hati mereka? Haruskah aku pergi sekarang???”, Sena terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh.
“Sepertinya, alam sudah menyuruhku pulang…”, Sena melanjutkan.
Di luar sana, hujan turun dengan derasnya. Sena mulai beranjak dari tempat tidurnya. Selangkah demi selangkah ia mulai mengitari dan menyusuri setiap sudut kamarnya. Memandangi satu per satu apa saja yang ada disana. Ia mulai membuka pintu kamar. Ada segenap perasaan sedih disana. Kakinya mulai melangkah menuju ke ruang keluarga. Di tatapnya sederetan foto yang terpampang di dinding, tak ada foto dirinya disana. Satu pun sudah tak ada, padahal dulu banyak sekali.
“Haha.. Hah.. Mereka memang sudah lupa…”, ucapnya sambil tertawa, tawa yang menyiksa.
Burung-burung di rumah itupun juga ikut berkicau sejadi-jadinya. Seakan-akan mengucapkan ‘Selamat Tinggal’ kepada Sena. Seketika Sena memandang ke arah luar rumah. Sebentar lagi ia akan basah. Jam menunjukkan pukul 17.05 sore. Tetesan hujan itu seperti sudah menantinya.
“Tak perlu menunggu waktu lagi… Waktuku memang sudah habis”, Sena bergumam. Kali itu ia benar-benar meraih gagang pintu rumahnya dan perlahan mulai membukanya meskipun dengan gerakan lambat.
”Aku bingung kenapa aku tidak bisa menangis kali ini. Meskipun sudah mengeluarkan beberapa tetes air mata, tetap saja masih belum cukup bagiku. Hati ini rasanya benar-benar terkoyak. Aku ingin menangis sekarang hingga tersedu-sedu. Aku ingin berteriak. Aku ingin berlari jauh sekencang-kencangnya sampai aku tak mampu melangkahkan kaki ini lagi. Aku ingin sendiri. Aku ingin… Aku ingin… Aku benar-benar ingin… “
“…………”
“Tapi aku tak ingin sepi…”
“Aku ingin sendiri”
“Tanpa sepi”
“Aku bukan sedih”
“Tapi aku sepi…”
“Ini bukan keinginanku…”
“Kalian yang membuatku begini”
“Sampai jumpa…”
Ketika Sena sudah berada di luar rumah, ternyata suara langkah kaki dari kejauhan mulai terdengar. Ya, orangtuanya sudah pulang dari bekerja. Sena hanya memandangi mobil orangtuanya yang mulai masuk ke garasi. Mereka masih terlihat biasa, tak menyadari apa yang terjadi. Saat itu hujan turun semakin deras. Ibunya berlari kecil menuju pintu rumah. Tunggu dulu, hanya Ibunya yang menuju pintu rumah. Tapi dimana Ayahnya?
“Papa mana Ma?”
Diam dan hening sejenak. Perlahan Ibunya mulai membuka mata lebar-lebar dan menatap Sena dengan tatapan tidak menyangka.
“HAH…! Kka… Kkamuu… Kenapa???”, sontak Ibunya kaget melihat kedatangan Sena yang tak diduga-duga itu.
“Mama ingat?”
“Kkamuu!!! Kenapa kamu datang Sena…??? Kenapa bisa kesini…”, jawab Ibunya ketakutan.
“Haha.. Hahaha… Kenapa??? Mama tanya aku kenapa!!! Harusnya aku yang tanya, kenapa Mama nggak pernah peduli sama aku!! Hoo… Bukan cuma Mama, aku baru ingat bukan hanya Mama, tapi Papa juga!”, jawab Sena kasar.
“Maafkan Mama nak… Maaf sayang… Maaf… Mama menyesal sekali…”, Ibunya tiba-tiba terduduk lemas dan terpaku dan menangis sejadi-jadinya melihat Sena kembali.
“Maaf…??? Apa kalian tidak merasa dengan kedatangan ku tahun lalu! Tepat di tanggal yang sama dengan hari ini, tanggal 21 Oktober! Apa kalian ingat dengan hari itu??? Hah!!!”
“………”
“Tahun lalu aku kesini juga, tahun lalu aku 16 tahun! Dan hari ini… Hari ini tepat dimana aku berulang tahun ke 17 Ma! Mama nggak pernah ingat kan??? Mama nggak tau kan, setiap tahun aku selalu nungguin kejutan dari kalian, kejutan di hari pertambahan umurku! Aku benar-benar menantikan sweet seventeen ku dari dulu… Tapi kalian membuatnya berantakan!!! Aku nggak akan bisa ngerayain itu, nggak akan bisa!!! Sampai kapan pun nggak akan!!!”, Sena meluapkan emosinya dengan kasar.
“Sena sayang… Maafkan Mama dan Papa nak, kalau saja kami lebihh.. Lebih memperhatikan kamu… Pasti… Semua ini…”, Ibunya berbicara terbata-bata sambil terisak.
Tapi, sore itu ada yang berbeda. Sena kembali menyaksikan senja kuningnya. Sena merasa seperti dilahirkan kembali. Saat Sena sadar, ketenangan ini masih bersamaya. Ketenangan untuk selama-lamanya.
“Aku pergi Ma… Waktuku sudah habis… Aku harus kembali dan nggak akan kembali kesini lagi… Impianku sudah terwujud, bisa memberitau kalian tentang umurku sekarang, aku senang akhirnya aku dewasa… Makasih Ma… Makasih…”, Sena mulai beranjak pergi dan mulai menghilang dari pandangan Ibunya, menghilang di tengah-tengah barisan guyuran hujan yang membasahi Sena saat itu. Ibunya masih terduduk lemas di teras rumah sambil terus-terusan menangis dan memanggil nama Sena.
“Ma! Mama kenapa Ma… Ada dokumen Papa yang tertinggal di mobil tadi, Mama kenapa sih, Mama kenapa begini???”, tegur Ayah Sena sembari membangkitkan istrinya itu.
“Pa… Sena Pa… Sena?”, jawab istrinya lemas.
“Sena??? Kenapa Sena Ma???”
“Sena kembali Pa… Sena kembali… Dia datang kesini…”
“Hah! Mama ngigau! Nggak mungkin Ma… Itu halusinasi Mama aja… Nggak mungkin Ma! Sena kan sudah… Sena… Sena sudah meninggal Ma! Ingat Ma…”
“Sena Pa… Sena memang datang, dia ulang tahun hari ini Pa… Tepat di tanggal yang sama, tanggal yang sama dengan kematiannya dua tahun lalu Pa… Mama menyesal, Mama sayang sama Sena! Tapi Mama nggak bisa jagain dia… Mama… Mama sudah gagal Pa… Gagal”, ucap istrinya semakin terisak.
“Sudahlah Ma… Papa juga salah, seharusnya kita menjaga dia, seharusnya Papa nanggepin Sena saat ia mengelu-elukan sakit di perutnya. Papa kira dia cuma sakit perut biasa, tapi ternyata… Ternyata dia…”, ucap Ayah Sena tak sanggup.
“Kita mampu membayar orang untuk mendonorkan ginjalnya ke Sena! Kita mampu kan Pa??? Kita bisa bayar, kita bisa… Sena pasti akan dapat ginjal yang cocok dengannya, kita akan bayar kan Pa??? Jawab Pa jawab Mama!!!”, istrinya mengguncang-guncangkan tubuh suaminya.
“Iya Ma iya… Tapi kita nggak akan bisa… Kita nggak akan mampu membayar waktu yang telah berlalu agar kembali! Kita nggak bisa Ma… Kita nggak akan mampu membeli waktu. Semua yang berlalu biarlah berlalu Ma, kita harus mengikhlaskan Sena…”, ucap Ayah Sena tegas. Sore itu pun berlalu begitu saja, dengan senja kuning yang indah dan terpampang pelangi disana.

*Note: guys… hargailah waktu yang ada ya, karena setiap detiknya mengandung makna penting yang tak terduga, see you ^^




2 komentar: