“Kriiiiiiing…
Kriiiiiiiiiiiiiing..”, terdengar suara bel dari setiap sudut kelas. Suasana
sekolah yang tak berubah, tetap begitu dan begitu saja bagi mereka. Mereka ya
mereka. Segerombolan anak-anak yang beranjak dewasa. Sekarang mereka sudah
bukan sekadar anak SMP yang umum dengan seragam putih birunya. Mereka sudah
beralih ke seragam putih abu-abu.
Jam sudah sedaritadi menunjukkan
pukul 07.30 pagi, seperti biasa, hanya ada beberapa anak yang sudah bertengger
manis di dalam kelas. Sisanya? Sisanya ya masih keluyuran di luar kelas, tapi
ada beberapa anak yang masih menghilang. Entah kemana, antara mengisi perutnya
untuk sekadar sarapan pagi di kantin atau masih nongkrong di jalan alias telat
berangkat ke sekolah.
Mereka adalah yang utama. Mereka
ada 5, dan diantara lima itu hanya ada satu yang utama. Lima anak laki-laki
yang sekarang menginjak kelas X atau kelas 1 SMA. Dikin, Fauzi, Nurani Pratama,
Aan, dan Adi. Nama yang menurut orang biasa-biasa saja, tapi jangan salah, tampang
mereka luar biasa. Dengan fisik yang sempurna dan lengkap. Tampang bukan
berarti wajah, tampang mereka memang lumayan. Tapi tampang yang dimaksud disini
adalah kepribadian mereka.
“Tak kenal maka tak sayang”. Itu
merupakan salah satu symbol bagaimana awal mulanya persahabatan kelima kaum
adam itu terjalin. Dengan sifat, sikap, dan watak yang berbeda, mereka mulai
saling mengenal satu sama lain. Kekompakkan mereka benar-benar luar biasa,
sangat jarang terbentuk persahabatan diantara beberapa laki-laki. Tentunya,
juga sangat sulit menyatukan beberapa pikiran dan pendapat yang berbeda-beda.
Tapi mereka bisa, sangat bisa. Itulah sebabnya, persahabatan mereka memang
benar-benar luar biasa.
Apalagi sesama jomblo, mereka
jadi bebas mengekspresikan apa yang mereka rasa dan inginkan, tanpa ada kata
‘dilarang’ oleh pacar. Tapi cap ‘jomblo’ itu membuat mereka lambat laun menjadi
agak miris. Pergaulan mereka menjadi tak luas, hanya itu-itu saja. Cap ‘kuper’
alias kurang pergaulan memang sangat pas untuk mereka. Tak ada yang berani
mendekat, bukan berarti karena mereka adalah anak-anak yang menyeramkan, tapi
karena mereka tidak membuka sosialisasinya masing-masing.
Hari demi hari berlalu. Tak
terasa mereka sudah beranjak ke semester dua. Adi, laki-laki berkacamata dengan
postur tubuh yang kurus namun tinggi, mulai merasakan ada keganjalan diantara
teman-temannya. Awalnya ia hanya biasa-biasa saja dan menyikapi dengan
sewajarnya. Ia pun juga tak banyak berkomentar. Namun kali ini, ia benar-benar
penasaran.
“An, futsal kah nanti sore?”,
tegur Adi saat bertemu dengan Aan di lobby sekolah.
“Wah, maaf bos.. Sore ini ada
kegiatan sama anak-anak ekskul, nggak bisa kayaknya”
“Yo sip lah, gampang, nanti ku
kasih tau buhannya yang lain”
“Buhannya siapa?”
“Ya siapa lagi? Buhan-buhan kita
lah, memangnya buhan siapa lagi?”, Adi mengernyitkan dahinya.
“Ohh.. Kukira buhannya Andi”,
jawab Aan santai.
“Lu ikut sama buhan Andi juga
kah? Sejak kapan?”
“Yoyoi, baru-baru aja kok men”
“Ah lu mah nggak bilang-bilang”
“Hahaha, ngapain gue pake acara
bilang segala? Memangnya ada pengaruhnya buat kalian? Toh kalian juga gak bakal
gabung sama kita-kita kan? Bener nggak sob?”, jawab Aan sembari meraih sesuatu
di saku celananya.
“Sorry sob kalo kata-kata gue
barusan nggak enak. Tapi sejujurnya gue pengen kalian itu membuka diri, gue
sudah nggak tahan diliatin mulu sama anak-anak cewek dengan tatapan sinis
mereka. Gue kan keren, masa gue cuma bergaul sama kalian-kalian aja. Kita harus
bergaul sama yang lain juga sob”, Aan melanjutkan.
“Haha. Makasih bro, mantep
ceramahnya barusan. Ehh, duluan…”, Adi menepuk bahu Aan sembai memasuki
kelasnya. Ya, mereka berlima memang tak semuanya satu kelas. Adi memikirkan
kata-kata Aan sejenak. Benar juga, pikirnya. Sejak saat itulah Adi mulai tak
berdiam diri lagi, ia semakin sering bergabung dan membaur dengan
teman-temannya yang lain. Dan ternyata, tanpa disangka-sangka, sepertinya Adi
ketinggalan berita. Empat orang sahabatnya itu ternyata juga sudah berubah,
mereka sudah bisa bergaul dan membaur dengan yang lain seperti Adi.
“Kriing... Kriing.. Kriing..”,
bel tanda istirahat berkicau ria. Adi hanya duduk di dalam kelas sendiri,
menunggu empat orang itu, yang biasa menghampirinya ke kelas. Detik demi detik,
menit, demi menit, tak ada tanda-tanda mereka akan datang. Tak satupun
menampakkan batang hidungnya, Alhasil, Adi pun beranjak dari kursinya menuju
keluar kelas. Baru sampai di depan pintu kelas, seseorang menghampiri Adi.
“Eh, Adi, kebetulan kamu di luar”
“Ya, kenapa Yu?”, Adi menjawab
seseorang di depannya itu, dia bukan laki-laki, melainkan perempuan bernama
Ayu.
“Rapat OSIS habis istirahat ya!
Di tunggu di ruang media”, jawab Ayu sambil berjalan.
“Eh sekarang aja kalo bisa ke
media nda papa”, Ayu melanjutkan.
“Eh.. Eh.. Tunggu Yu, ngapain?
Habis ini pelajaran eksak aku”
“Rapat tentang study tour kita
pas libur kenaikan kelas nanti, nda papa sudah dibikinkan surat dispen kita
sama Pembina OSIS. Ayo sudah sekarang, banyak sudah yang kesana”
“Aku nunggu Aan, Dikin, Fauzi
sama Nur dulu Yu, nanti aku nyusul”
“Haa??? Mereka semua sudah disana
daritadi masbro!”
“Oyakah? Yasudah, aku ngambil
uang dulu di tas”
“Buat apa je’ nah! Nda belanja
juga toh, ada snack di kasih, tenang aja”
”Yo wes..”
Akhirnyaa Adi pun sukses
membuntuti Ayu yang berjalan dengan cepatnya menuju ke ruang rapat OSIS. Dibukanya
oleh Ayu pintu ruang media yang semula tertutup. Disana sudah berjejer
anak-anak OSIS yang memang sudah sedaritadi berkumpul. Empat orang rekannya pun
tak luput dari pandangannya. Tapi, tunggu dulu. Empat orang itu tak bersama,
mereka terpisah.
“Woy! Ngapain lu betengger
sendiri disini”, Adi menepuk Dikin dengan spontan.
“Hoi! Bikin kaget aja lu, kampret
lu Di!”, jawab Dikin sambil mengelus-elus dadanya.
“ Hahahaha.. Sorry masbro,
ngapain lu sendiri?”
“Lu gimana sih, kagak liat gue
duduk manis disini menunggu sang ketua?!”
“Wuihhh, sensitip amat lu hari
ini. Melankolis lu bro, awas lu, gue bakar rumah lu!”
“Halah, omonganmu Di! Ku bakar
kosmu baru tau, hahaha!”, jawab Dikin dengan bangganya. Ya, Adi memang seorang
anak kos.
“Eh ayo gabung sama buhannya. Itu
nah dipojokan ada Fauzi sama Lea”, ajak Adi.
“Malas cuy, nda level lagi gua…”
“……”
“Ngerti kagak lu Di”
“Apaan?”, jawab Adi penasaran.
“Itu noh yang dipojok bedua lu
bilang, mereka tu pacaran”
“Ahh, yang bener! Fauzi berani
nembak cewek? Lea??? Lea yang dia tembak mau nerima Fauzi, seriusan lu
masbro?!”
“Aku aja beberapa jam lalu
taunya, nyampe depan pintu ini ruangan, aku masih belom sadar tu bedua pacaran.
Ehh pas di lihat, dua insan itu sudah ada di pojokan, baru aku nyadar
sesadar-sadarnya”
“Kata-katamu Kin, the best! Kamu
hebat”, Adi memamerkan kedua jempol tangannya kepada Dikin.
“Elehh, aku males-malesan hari
ini main futsal. Kalo cewek-cewek bilang sih badmood gitu”
“Aduh ciinn… Iiihhh bisa aja”,
jawab Adi dengan gaya bencis alias banci.
“Kampret lu. Cucok deh bo’”
“Halahhh, lu aja begitu! Yo sip
nda papa nda futsal hari ini. Yang lain juga pada sibuk. Tadi pagi pas ketemu
Aan dia bilang sibuk ekskul”
“He’eh, Nur juga ada tugas
kelompok bilangnya. Banyak yang mikirin tugas jadi ikutan pusing aku, banyak
betul, tugasnya maksa-maksa lagi, nda tanggung-tanggung eh cuy!”
“Nikmatin ajalah masbro, demi
nilai, bentar lagi kelas dua kita men. Penjurusan sudah, harus cari nilai
bagus-bagus ini biar masuk ke jurusan yang dipilih”
“Adi.. Adi.. Lu mah enak, otak lu
mulus, berjalan dengan lancar bagaikan jalan tol, dan bagaikan air hujan yang
mengalir dengan deras. Lancar tanpa ada hambatan”
“Halah halah, kampret lu,
bahasamu tu nah Kin! Alay cuy alay!”
“Biar aja, nda urus aku. Aku mau
jadi anak kos juga kalo gitu, siapa tau otakku bisa lebih bagus kalo aku
ngekos, ya kan?”
“Emak, bapak lu ada disini
ngapain lu ngekos! Sialan lu, ngolok-ngolok anak kos. Lu enak tau,
pulang-pulang tinggal terima beres, lah gua??? Nyuci belom, ngapa-ngapain
belom”
“Londri dong mas bro londri!
6.000 sekilo men”
“Mandiri dong cuy, mandi sendiri,
hahahaha!!!”
“Heheh!! Ssssttt, si ketua
datang, silent please…”, tegur salah satu anggota OSIS lainnya, seketika mereka
berdua terdiam dan malah saling tatap-tatapan.
Beberapa saat kemudian rapat
ditutup, dengan hasil yang cukup memuaskan, yaitu mereka akan melakukan study
tour saat libur kenaikan kelas. Seluruh anak OSIS setuju dan dengan senang hati
mengikutinya. Satu persatu dari mereka mulai kembali ke kelas masing-masing.
Adi masih bersama Dikin. Mereka hanya berdua, sedangkan yang tiga, sudah
kembali ke kelas tanpa bertegur sapa. Saat itu Adi benar-benar merasa bahwa
persahabatan ini mulai merenggang, ia merasa bahwa dirinya sudah tidak pantas
lagi bersama keempat rekannya yang lain. Dan mulai saat itu juga, pribadi Adi
berubah, ia lebih sering menutup mulutnya, dengan kata lain, Adi sudah tidak
banyak berbicara.
Sekarang, Adi lebih sering
sendiri. Tampak dari kejauhan, rekan-rekannya juga asyik sendiri. Namun, Adi
masih disegani oleh teman-teman sekelasnya. Adi lebih sering dihampiri daripada
menghampiri. Tak masalah baginya. Ia sadar, yang terpenting sekarang adalah
belajar dan mulai memikirkan bagaimana kedepannya. Karena tak lama lagi,
Ulangan Kenaikan Kelas akan segera menghampiri siswa-siswi tersebut.
Adi sadar, ini mungkin baru awal.
Pencarian jati dirinya masih berlanjut. Jantung Adi berdegup kencang, saat ia
mencoba mengingat-ingat kembali kejadian beberapa bulan yang lalu. Saat dimana
ia akan menjadi murid baru di sekolahnya. Pendaftaran, adalah hal umum dan
wajib dilakukan. Adi tak mengenal siapa pun saat itu dan hanya bisa menatap
satu persatu wajah calon murid-murid baru. Ia tak yakin akan diterima di
sekolah yang termasuk salah satu sekolah favorit itu, tapi hati kecilnya terus
memaksa. Seakan cita-citanya akan berawal dari sekolah ini. Sampai pada
akhirnya…
“Permisi, sendiri?”, tegur
seseorang dari arah belakang.
“Eh, oh.. Iya sendiri”
“Nomor antrian berapa?”
“77, situ berapa?”
“65. Begini, saya bisa minta
tolong?”
“Ya???”
“Saya harus ke toilet, saya titip
formulir ini sebentar bisa?”
“Bisa sih bisa. Tapi ini sudah
antrian nomor 58, sebentar lagi menuju 65? Apa nda sebaiknya di tunggu aja dulu
sebentar?”, ajak Adi dengan sopan.
“Nda papa, saya harus ke toilet
sebentar, sudah kebelet soalnya, titip dulu ya”, orang itu pun berlalu. Di
situlah Adi mengetahui bahwa orang itu akrab dipanggil Fauzi. Dipandanginya
formulir teman barunya itu dengan sesaat, sembari menunggu waktu yang ada. Jam
masih menunjukkan pukul 09.00 pagi, tapi sudah banyak yang datang dan
mengantri. Dan tibalah giliran si Fauzi, sedangkan ia masih belum kembali. Adi
bingung dan mulai panik. Ia menatap selebaran yang ada di tangannya. Kemana si
pemilik formulir ini? Nomor urut 65 sudah sedaritadi di panggil dan Adi masih
dalam keadaan bingung. Akhirnya, Ia mengambil sebuah keputusan. Ia langkahkan
kakinya perlahan menuju loket pendaftaran, saat ia hendak memberi formulir
Fauzi tiba-tiba saja…
“Hhh…hhh…hhh… No..nomor.. Nomor
ss.. Nomor saya ya??? Hhh…hhh…hhh”, Fauzi Nampak terengah-engah.
“Iya, untung saja. Ini
formulirnya”, Adi memberikan selebaran itu kepada sang pemiliknya dan segera
kembali ke ruang tunggu. Tak perlu menunggu waktu lama, kini Fauzi telah
selesai dengan urusannya.
“Eh bro, makasih banyak tadi ya,
sorry lho ngerepotin”, tegur Fauzi kepada Adi yang masih mengantri.
“Haha, nda papa nyantai aja”
“Nama, siapa nama?”
“Panggil aja Adi, kalo ketemu
lagi panggil aja Adi”
“Ya pastilah ketemu lagi! Harus
optimis masuk”
“Haha betul itu betul, sendiri?”
“Nggak, masih ada 3 orang lagi,
urutannya ngepas di belakang saya sih tadi. Rencananya mau nitip formulir ke
mereka aja, tapi mereka nggak ada eh, jadi bingung sendiri. Untung ada lu,
siapa tadi namanya?”
“Adi, ohh gitu… Mungkin yang di
belakangmu ini teman-temanmu?”
“Di belakang mana?”
“Ini di belakangmu sekarang?”,
Adi menunjuk ke arah belakang Fauzi, Fauzi pun menoleh dengan cepatnya.
“Hoo.. Haha iya, ini
teman-temanku. Dikin, Aan, Nurani Pratama”, Fauzi memperkenalkan teman-temannya
satu persatu. Dari situlah Adi merasa bahwa ia tak sendiri. Ia memiliki teman
sekarang. Ia tak perlu khawatir dan susah-susah mencari kenalan baru nantinya.
Ia tersenyum sesaat setelah
mengingat-ingat hal itu, tak terasa, ia sudah lama bersama rekan-rekan yang
baru dikenalnya di awal SMA. Mereka orang-orang baik dan sangat segan dengan
Adi, hanya saja mereka sedang asyik dengan urusannya masing-masing sekarang.
Beberapa waktu telah berlalu,
Ulangan Kenaikan Kelas yang akrab disapa dengan UKK juga telah berlalu. Satu
persatu personil dari persahabatan lima anak laki-laki itu pun mulai kembali
dan saling bertegur sapa. Mereka mulai bernostalgia kembali dan bercakap-cakap
dengan santainya. Seakan mereka baru kenal kembali.
“Gimana hasil Di?”, tanya Aan.
“Ya begitu-begitu aja, masih
tetap-tetap aja tapi lumayan lah ada peningkatan, kalian?”, jawab Adi santai.
“Iya bro, sama aja”, jawab Nur.
“Class meetingnya kapan, aku nda
ikut rapat eh kemaren?”, balas Fauzi.
“Pacaran mulu sih lu, kewajiban
dilupain!”, ucap Dikin yang memang memiliki watak ceplas ceplos.
“Hah nda usah diingat-ingat lagi,
males. Ternyata punya pacar atau nggak, tetep aja gue keinget terus sama
kutukupret kayak kalian ini”, jawab Fauzi.
“Sialan lu Zi! Cieee… Ada yang
marahan nih sama ceweknya”, goda Nur ikut-ikutan.
“Bukannya gitu, gue lambat laun
sadar, kita semua udah lama gak bareng-bareng lagi men. Nyadar nggak sih?
Biasanya main futsal bareng, begitaran sama vokalis kita nih si Adi, ngambur
kosnya Adi. Gue kangen sob!”, jawab Fauzi panjang lebar.
“Ohh, jadi kalian juga mikirin
hubungan kita yang merenggang ini toh? Kirain kalian sudah bener-bener lupa,
lupa, dan lupa”, jawab Adi yang sedaritadi hanya bisa diam.
“Hubungan??? Bahasamu ngeri eh
sekarang Di, haha”, cetus Aan. Hari itu pun berlalu begitu saja Hingga tiba
saatnya, dimana mereka harus melakukan kegiatan study tour di luar kota.
“Ehh ehh.. Foto bareng dulu, kita
nda punya satu pun foto berlima kan? Buat kenang-kenangan”, ajak Aan kepada
keempat sahabatnya itu. Mereka pun berpose ria layaknya seorang model
laki-laki, benar-benar kelakuan yang ada-ada saja. Dengan gagahnya mereka
menampilkan ekspresi yang membuahkan hasil terbaik.
“Gila… Kalau berlima gini, gue
ingat waktu Fauzi nitipin formulirnya ke gue gara-gara kebelet, kocak banget
waktu itu dia ngos-ngosan dari toilet. Mukanya Fauzi bener-bener panik”, Adi
berbicara sambil memandangi foto-foto mereka barusan.
“Hahaha! Masih ingat aja lu, kalo
nggak gitu, mungkin kita nggak kayak sekarang ini. Mungkin kita nggak pernah
kenal”, jawab Fauzi.
“Mungkin kenal aja, tapi nggak
seakrab gini…”, Nur ikutan nimbrung.
“Woy bro! Jangan sibuk sama
urusan sendiri makanya, gue sedih nih, terharu kita berlima bisa sama-sama
lagi…”, ucap Dikin.
“Buset dah Dikin, cengeng amat
lu”, cetus Nur.
“Nda terasa kita sudah memasuki
kelas dua ya? Nda lama lagi kelas tiga, terus ujian”, Adi mengalihkan
pembicaraan.
“Iya, jalani aja apa yang ada,
sukses untuk kita semua!”, tegas Aan.
Hari itu benar-benar hari baru
buat mereka berlima. Mereka berhasil melepas kepenatan yang ada selama duduk di
kelas satu. Suasana hari itu sangat cerah, secerah persahabatan kelima kaum
adam tersebut. Suasana mengharukan juga tak luput dari mereka, karena Dikin. Si
cowok cuek dan ceplas ceplos, tetapi mudah tersentuh hatinya. Akhirnya mereka
bisa tertawa bersama lagi. Pada dasarnya itu semua hanya tentang waktu. Dan
mereka berhasil menemukan waktu mereka.