Jumat, 21 Juni 2013

Tanpa Judul

“Kriiiiiiing… Kriiiiiiiiiiiiiing..”, terdengar suara bel dari setiap sudut kelas. Suasana sekolah yang tak berubah, tetap begitu dan begitu saja bagi mereka. Mereka ya mereka. Segerombolan anak-anak yang beranjak dewasa. Sekarang mereka sudah bukan sekadar anak SMP yang umum dengan seragam putih birunya. Mereka sudah beralih ke seragam putih abu-abu.
Jam sudah sedaritadi menunjukkan pukul 07.30 pagi, seperti biasa, hanya ada beberapa anak yang sudah bertengger manis di dalam kelas. Sisanya? Sisanya ya masih keluyuran di luar kelas, tapi ada beberapa anak yang masih menghilang. Entah kemana, antara mengisi perutnya untuk sekadar sarapan pagi di kantin atau masih nongkrong di jalan alias telat berangkat ke sekolah.
Mereka adalah yang utama. Mereka ada 5, dan diantara lima itu hanya ada satu yang utama. Lima anak laki-laki yang sekarang menginjak kelas X atau kelas 1 SMA. Dikin, Fauzi, Nurani Pratama, Aan, dan Adi. Nama yang menurut orang biasa-biasa saja, tapi jangan salah, tampang mereka luar biasa. Dengan fisik yang sempurna dan lengkap. Tampang bukan berarti wajah, tampang mereka memang lumayan. Tapi tampang yang dimaksud disini adalah kepribadian mereka.
“Tak kenal maka tak sayang”. Itu merupakan salah satu symbol bagaimana awal mulanya persahabatan kelima kaum adam itu terjalin. Dengan sifat, sikap, dan watak yang berbeda, mereka mulai saling mengenal satu sama lain. Kekompakkan mereka benar-benar luar biasa, sangat jarang terbentuk persahabatan diantara beberapa laki-laki. Tentunya, juga sangat sulit menyatukan beberapa pikiran dan pendapat yang berbeda-beda. Tapi mereka bisa, sangat bisa. Itulah sebabnya, persahabatan mereka memang benar-benar luar biasa.
Apalagi sesama jomblo, mereka jadi bebas mengekspresikan apa yang mereka rasa dan inginkan, tanpa ada kata ‘dilarang’ oleh pacar. Tapi cap ‘jomblo’ itu membuat mereka lambat laun menjadi agak miris. Pergaulan mereka menjadi tak luas, hanya itu-itu saja. Cap ‘kuper’ alias kurang pergaulan memang sangat pas untuk mereka. Tak ada yang berani mendekat, bukan berarti karena mereka adalah anak-anak yang menyeramkan, tapi karena mereka tidak membuka sosialisasinya masing-masing.
Hari demi hari berlalu. Tak terasa mereka sudah beranjak ke semester dua. Adi, laki-laki berkacamata dengan postur tubuh yang kurus namun tinggi, mulai merasakan ada keganjalan diantara teman-temannya. Awalnya ia hanya biasa-biasa saja dan menyikapi dengan sewajarnya. Ia pun juga tak banyak berkomentar. Namun kali ini, ia benar-benar penasaran.
“An, futsal kah nanti sore?”, tegur Adi saat bertemu dengan Aan di lobby sekolah.
“Wah, maaf bos.. Sore ini ada kegiatan sama anak-anak ekskul, nggak bisa kayaknya”
“Yo sip lah, gampang, nanti ku kasih tau buhannya yang lain”
“Buhannya siapa?”
“Ya siapa lagi? Buhan-buhan kita lah, memangnya buhan siapa lagi?”, Adi mengernyitkan dahinya.
“Ohh.. Kukira buhannya Andi”, jawab Aan santai.
“Lu ikut sama buhan Andi juga kah? Sejak kapan?”
“Yoyoi, baru-baru aja kok men”
“Ah lu mah nggak bilang-bilang”
“Hahaha, ngapain gue pake acara bilang segala? Memangnya ada pengaruhnya buat kalian? Toh kalian juga gak bakal gabung sama kita-kita kan? Bener nggak sob?”, jawab Aan sembari meraih sesuatu di saku celananya.
“Sorry sob kalo kata-kata gue barusan nggak enak. Tapi sejujurnya gue pengen kalian itu membuka diri, gue sudah nggak tahan diliatin mulu sama anak-anak cewek dengan tatapan sinis mereka. Gue kan keren, masa gue cuma bergaul sama kalian-kalian aja. Kita harus bergaul sama yang lain juga sob”, Aan melanjutkan.
“Haha. Makasih bro, mantep ceramahnya barusan. Ehh, duluan…”, Adi menepuk bahu Aan sembai memasuki kelasnya. Ya, mereka berlima memang tak semuanya satu kelas. Adi memikirkan kata-kata Aan sejenak. Benar juga, pikirnya. Sejak saat itulah Adi mulai tak berdiam diri lagi, ia semakin sering bergabung dan membaur dengan teman-temannya yang lain. Dan ternyata, tanpa disangka-sangka, sepertinya Adi ketinggalan berita. Empat orang sahabatnya itu ternyata juga sudah berubah, mereka sudah bisa bergaul dan membaur dengan yang lain seperti Adi.
“Kriing... Kriing.. Kriing..”, bel tanda istirahat berkicau ria. Adi hanya duduk di dalam kelas sendiri, menunggu empat orang itu, yang biasa menghampirinya ke kelas. Detik demi detik, menit, demi menit, tak ada tanda-tanda mereka akan datang. Tak satupun menampakkan batang hidungnya, Alhasil, Adi pun beranjak dari kursinya menuju keluar kelas. Baru sampai di depan pintu kelas, seseorang menghampiri Adi.
“Eh, Adi, kebetulan kamu di luar”
“Ya, kenapa Yu?”, Adi menjawab seseorang di depannya itu, dia bukan laki-laki, melainkan perempuan bernama Ayu.
“Rapat OSIS habis istirahat ya! Di tunggu di ruang media”, jawab Ayu sambil berjalan.
“Eh sekarang aja kalo bisa ke media nda papa”, Ayu melanjutkan.
“Eh.. Eh.. Tunggu Yu, ngapain? Habis ini pelajaran eksak aku”
“Rapat tentang study tour kita pas libur kenaikan kelas nanti, nda papa sudah dibikinkan surat dispen kita sama Pembina OSIS. Ayo sudah sekarang, banyak sudah yang kesana”
“Aku nunggu Aan, Dikin, Fauzi sama Nur dulu Yu, nanti aku nyusul”
“Haa??? Mereka semua sudah disana daritadi masbro!”
“Oyakah? Yasudah, aku ngambil uang dulu di tas”
“Buat apa je’ nah! Nda belanja juga toh, ada snack di kasih, tenang aja”
”Yo wes..”
Akhirnyaa Adi pun sukses membuntuti Ayu yang berjalan dengan cepatnya menuju ke ruang rapat OSIS. Dibukanya oleh Ayu pintu ruang media yang semula tertutup. Disana sudah berjejer anak-anak OSIS yang memang sudah sedaritadi berkumpul. Empat orang rekannya pun tak luput dari pandangannya. Tapi, tunggu dulu. Empat orang itu tak bersama, mereka terpisah.
“Woy! Ngapain lu betengger sendiri disini”, Adi menepuk Dikin dengan spontan.
“Hoi! Bikin kaget aja lu, kampret lu Di!”, jawab Dikin sambil mengelus-elus dadanya.
“ Hahahaha.. Sorry masbro, ngapain lu sendiri?”
“Lu gimana sih, kagak liat gue duduk manis disini menunggu sang ketua?!”
“Wuihhh, sensitip amat lu hari ini. Melankolis lu bro, awas lu, gue bakar rumah lu!”
“Halah, omonganmu Di! Ku bakar kosmu baru tau, hahaha!”, jawab Dikin dengan bangganya. Ya, Adi memang seorang anak kos.
“Eh ayo gabung sama buhannya. Itu nah dipojokan ada Fauzi sama Lea”, ajak Adi.
“Malas cuy, nda level lagi gua…”
“……”
“Ngerti kagak lu Di”
“Apaan?”, jawab Adi penasaran.
“Itu noh yang dipojok bedua lu bilang, mereka tu pacaran”
“Ahh, yang bener! Fauzi berani nembak cewek? Lea??? Lea yang dia tembak mau nerima Fauzi, seriusan lu masbro?!”
“Aku aja beberapa jam lalu taunya, nyampe depan pintu ini ruangan, aku masih belom sadar tu bedua pacaran. Ehh pas di lihat, dua insan itu sudah ada di pojokan, baru aku nyadar sesadar-sadarnya”
“Kata-katamu Kin, the best! Kamu hebat”, Adi memamerkan kedua jempol tangannya kepada Dikin.
“Elehh, aku males-malesan hari ini main futsal. Kalo cewek-cewek bilang sih badmood gitu”
“Aduh ciinn… Iiihhh bisa aja”, jawab Adi dengan gaya bencis alias banci.
“Kampret lu. Cucok deh bo’”
“Halahhh, lu aja begitu! Yo sip nda papa nda futsal hari ini. Yang lain juga pada sibuk. Tadi pagi pas ketemu Aan dia bilang sibuk ekskul”
“He’eh, Nur juga ada tugas kelompok bilangnya. Banyak yang mikirin tugas jadi ikutan pusing aku, banyak betul, tugasnya maksa-maksa lagi, nda tanggung-tanggung eh cuy!”
“Nikmatin ajalah masbro, demi nilai, bentar lagi kelas dua kita men. Penjurusan sudah, harus cari nilai bagus-bagus ini biar masuk ke jurusan yang dipilih”
“Adi.. Adi.. Lu mah enak, otak lu mulus, berjalan dengan lancar bagaikan jalan tol, dan bagaikan air hujan yang mengalir dengan deras. Lancar tanpa ada hambatan”
“Halah halah, kampret lu, bahasamu tu nah Kin! Alay cuy alay!”
“Biar aja, nda urus aku. Aku mau jadi anak kos juga kalo gitu, siapa tau otakku bisa lebih bagus kalo aku ngekos, ya kan?”
“Emak, bapak lu ada disini ngapain lu ngekos! Sialan lu, ngolok-ngolok anak kos. Lu enak tau, pulang-pulang tinggal terima beres, lah gua??? Nyuci belom, ngapa-ngapain belom”
“Londri dong mas bro londri! 6.000 sekilo men”
“Mandiri dong cuy, mandi sendiri, hahahaha!!!”
“Heheh!! Ssssttt, si ketua datang, silent please…”, tegur salah satu anggota OSIS lainnya, seketika mereka berdua terdiam dan malah saling tatap-tatapan.
Beberapa saat kemudian rapat ditutup, dengan hasil yang cukup memuaskan, yaitu mereka akan melakukan study tour saat libur kenaikan kelas. Seluruh anak OSIS setuju dan dengan senang hati mengikutinya. Satu persatu dari mereka mulai kembali ke kelas masing-masing. Adi masih bersama Dikin. Mereka hanya berdua, sedangkan yang tiga, sudah kembali ke kelas tanpa bertegur sapa. Saat itu Adi benar-benar merasa bahwa persahabatan ini mulai merenggang, ia merasa bahwa dirinya sudah tidak pantas lagi bersama keempat rekannya yang lain. Dan mulai saat itu juga, pribadi Adi berubah, ia lebih sering menutup mulutnya, dengan kata lain, Adi sudah tidak banyak berbicara.
Sekarang, Adi lebih sering sendiri. Tampak dari kejauhan, rekan-rekannya juga asyik sendiri. Namun, Adi masih disegani oleh teman-teman sekelasnya. Adi lebih sering dihampiri daripada menghampiri. Tak masalah baginya. Ia sadar, yang terpenting sekarang adalah belajar dan mulai memikirkan bagaimana kedepannya. Karena tak lama lagi, Ulangan Kenaikan Kelas akan segera menghampiri siswa-siswi tersebut.
Adi sadar, ini mungkin baru awal. Pencarian jati dirinya masih berlanjut. Jantung Adi berdegup kencang, saat ia mencoba mengingat-ingat kembali kejadian beberapa bulan yang lalu. Saat dimana ia akan menjadi murid baru di sekolahnya. Pendaftaran, adalah hal umum dan wajib dilakukan. Adi tak mengenal siapa pun saat itu dan hanya bisa menatap satu persatu wajah calon murid-murid baru. Ia tak yakin akan diterima di sekolah yang termasuk salah satu sekolah favorit itu, tapi hati kecilnya terus memaksa. Seakan cita-citanya akan berawal dari sekolah ini. Sampai pada akhirnya…
“Permisi, sendiri?”, tegur seseorang dari arah belakang.
“Eh, oh.. Iya sendiri”
“Nomor antrian berapa?”
“77, situ berapa?”
“65. Begini, saya bisa minta tolong?”
“Ya???”
“Saya harus ke toilet, saya titip formulir ini sebentar bisa?”
“Bisa sih bisa. Tapi ini sudah antrian nomor 58, sebentar lagi menuju 65? Apa nda sebaiknya di tunggu aja dulu sebentar?”, ajak Adi dengan sopan.
“Nda papa, saya harus ke toilet sebentar, sudah kebelet soalnya, titip dulu ya”, orang itu pun berlalu. Di situlah Adi mengetahui bahwa orang itu akrab dipanggil Fauzi. Dipandanginya formulir teman barunya itu dengan sesaat, sembari menunggu waktu yang ada. Jam masih menunjukkan pukul 09.00 pagi, tapi sudah banyak yang datang dan mengantri. Dan tibalah giliran si Fauzi, sedangkan ia masih belum kembali. Adi bingung dan mulai panik. Ia menatap selebaran yang ada di tangannya. Kemana si pemilik formulir ini? Nomor urut 65 sudah sedaritadi di panggil dan Adi masih dalam keadaan bingung. Akhirnya, Ia mengambil sebuah keputusan. Ia langkahkan kakinya perlahan menuju loket pendaftaran, saat ia hendak memberi formulir Fauzi tiba-tiba saja…
“Hhh…hhh…hhh… No..nomor.. Nomor ss.. Nomor saya ya??? Hhh…hhh…hhh”, Fauzi Nampak terengah-engah.
“Iya, untung saja. Ini formulirnya”, Adi memberikan selebaran itu kepada sang pemiliknya dan segera kembali ke ruang tunggu. Tak perlu menunggu waktu lama, kini Fauzi telah selesai dengan urusannya.
“Eh bro, makasih banyak tadi ya, sorry lho ngerepotin”, tegur Fauzi kepada Adi yang masih mengantri.
“Haha, nda papa nyantai aja”
“Nama, siapa nama?”
“Panggil aja Adi, kalo ketemu lagi panggil aja Adi”
“Ya pastilah ketemu lagi! Harus optimis masuk”
“Haha betul itu betul, sendiri?”
“Nggak, masih ada 3 orang lagi, urutannya ngepas di belakang saya sih tadi. Rencananya mau nitip formulir ke mereka aja, tapi mereka nggak ada eh, jadi bingung sendiri. Untung ada lu, siapa tadi namanya?”
“Adi, ohh gitu… Mungkin yang di belakangmu ini teman-temanmu?”
“Di belakang mana?”
“Ini di belakangmu sekarang?”, Adi menunjuk ke arah belakang Fauzi, Fauzi pun menoleh dengan cepatnya.
“Hoo.. Haha iya, ini teman-temanku. Dikin, Aan, Nurani Pratama”, Fauzi memperkenalkan teman-temannya satu persatu. Dari situlah Adi merasa bahwa ia tak sendiri. Ia memiliki teman sekarang. Ia tak perlu khawatir dan susah-susah mencari kenalan baru nantinya.
Ia tersenyum sesaat setelah mengingat-ingat hal itu, tak terasa, ia sudah lama bersama rekan-rekan yang baru dikenalnya di awal SMA. Mereka orang-orang baik dan sangat segan dengan Adi, hanya saja mereka sedang asyik dengan urusannya masing-masing sekarang.
Beberapa waktu telah berlalu, Ulangan Kenaikan Kelas yang akrab disapa dengan UKK juga telah berlalu. Satu persatu personil dari persahabatan lima anak laki-laki itu pun mulai kembali dan saling bertegur sapa. Mereka mulai bernostalgia kembali dan bercakap-cakap dengan santainya. Seakan mereka baru kenal kembali.
“Gimana hasil Di?”, tanya Aan.
“Ya begitu-begitu aja, masih tetap-tetap aja tapi lumayan lah ada peningkatan, kalian?”, jawab Adi santai.
“Iya bro, sama aja”, jawab Nur.
“Class meetingnya kapan, aku nda ikut rapat eh kemaren?”, balas Fauzi.
“Pacaran mulu sih lu, kewajiban dilupain!”, ucap Dikin yang memang memiliki watak ceplas ceplos.
“Hah nda usah diingat-ingat lagi, males. Ternyata punya pacar atau nggak, tetep aja gue keinget terus sama kutukupret kayak kalian ini”, jawab Fauzi.
“Sialan lu Zi! Cieee… Ada yang marahan nih sama ceweknya”, goda Nur ikut-ikutan.
“Bukannya gitu, gue lambat laun sadar, kita semua udah lama gak bareng-bareng lagi men. Nyadar nggak sih? Biasanya main futsal bareng, begitaran sama vokalis kita nih si Adi, ngambur kosnya Adi. Gue kangen sob!”, jawab Fauzi panjang lebar.
“Ohh, jadi kalian juga mikirin hubungan kita yang merenggang ini toh? Kirain kalian sudah bener-bener lupa, lupa, dan lupa”, jawab Adi yang sedaritadi hanya bisa diam.
“Hubungan??? Bahasamu ngeri eh sekarang Di, haha”, cetus Aan. Hari itu pun berlalu begitu saja Hingga tiba saatnya, dimana mereka harus melakukan kegiatan study tour di luar kota.
“Ehh ehh.. Foto bareng dulu, kita nda punya satu pun foto berlima kan? Buat kenang-kenangan”, ajak Aan kepada keempat sahabatnya itu. Mereka pun berpose ria layaknya seorang model laki-laki, benar-benar kelakuan yang ada-ada saja. Dengan gagahnya mereka menampilkan ekspresi yang membuahkan hasil terbaik.
“Gila… Kalau berlima gini, gue ingat waktu Fauzi nitipin formulirnya ke gue gara-gara kebelet, kocak banget waktu itu dia ngos-ngosan dari toilet. Mukanya Fauzi bener-bener panik”, Adi berbicara sambil memandangi foto-foto mereka barusan.
“Hahaha! Masih ingat aja lu, kalo nggak gitu, mungkin kita nggak kayak sekarang ini. Mungkin kita nggak pernah kenal”, jawab Fauzi.
“Mungkin kenal aja, tapi nggak seakrab gini…”, Nur ikutan nimbrung.
“Woy bro! Jangan sibuk sama urusan sendiri makanya, gue sedih nih, terharu kita berlima bisa sama-sama lagi…”, ucap Dikin.
“Buset dah Dikin, cengeng amat lu”, cetus Nur.
“Nda terasa kita sudah memasuki kelas dua ya? Nda lama lagi kelas tiga, terus ujian”, Adi mengalihkan pembicaraan.
“Iya, jalani aja apa yang ada, sukses untuk kita semua!”, tegas Aan.
Hari itu benar-benar hari baru buat mereka berlima. Mereka berhasil melepas kepenatan yang ada selama duduk di kelas satu. Suasana hari itu sangat cerah, secerah persahabatan kelima kaum adam tersebut. Suasana mengharukan juga tak luput dari mereka, karena Dikin. Si cowok cuek dan ceplas ceplos, tetapi mudah tersentuh hatinya. Akhirnya mereka bisa tertawa bersama lagi. Pada dasarnya itu semua hanya tentang waktu. Dan mereka berhasil menemukan waktu mereka.





Rabu, 19 Juni 2013

Ketika "Waktu" tidak bisa dibeli

“Kriik… Kriik… Kriikk…”, terdengar suara jangkrik dari halaman rumah itu. Masih pagi, jam masih menunjukkan pukul 08.00 tepat. Sena, seorang gadis bertubuh mungil sudah sedaritadi berdiri di ruang tamu. Berulang kali ia menolehkan kepalanya ke sekeliling rumah itu. Rumah yang tak asing baginya. Sejenak ia menyadari hal-hal yang terasa biasa untuknya. Yaitu keadaan rumah yang selalu berantakan di pagi hari.
“Hmmpphh… Selalu saja”, Sena mengendus kesal. Kebiasaan orangtuanya yang selalu pergi bekerja dengan terburu-buru, sehingga membuat keadaan rumah seperti kapal yang hampir pecah. Orangtuanya memang sengaja, karena tau kalau Sena akan segera membereskan seluruh ruangan rumah sampai rapi dan enak dipandang mata. Tapi itu sudah tak akan lagi terjadi.
Kembali Sena melihat sekelilingnya. Di dalam rumah itu masih terdapat 13 ekor kucing-kucing kesayangannya. Ia tersenyum lebar melihatnya. Tak lupa, beberapa ekor burung yang sedang sibuk bersiul, juga tak luput dari pandangannya. Sepertinya binatang-binatang itu sangat senang dengan kedatangan tuan rumahnya yang sudah lama pergi dan kembali lagi.
“Sepi…”, Sena bergumam sambil mengelus kucing-kucingnya. Sena memang gadis yang pendiam. Ia tak banyak melakukan kegiatan di luar rumah, karena sifatnya yang pemalu. Sena juga merupakan anak tunggal di keluarga itu. Ya, memang anak tunggal. Tak tau pasti, sampai kapankah gelar ‘anak tunggal’ itu masih akan menempel pada dirinya.
Sena beranjak dari tempat semula, menuju salah satu ruangan. Ruangan persegi yang berada di sudut rumah. Tepatnya, kamarnya sendiri. Kamar itu sangat rapi, sebagaimana kamar perempuan. Sebuah lemari pakaian berdiri di salah satu pojok ruangan. Lemari itu bertutupkan tiga buah pintu, dengan pintu tengah yang dilapisi sebuah kaca panjang, sehingga siapapun yang berada di depannya dapat melihat pribadinya sendiri dengan utuh.
Di seberangnya, terdapat sebuah kasur dengan ukuran untuk satu orang. Berlapiskan sprei dan selimut tebal berwarna pink yang dipadupadankan dengan warna biru laut. Tak lupa dengan deretan boneka yang berjejer diatasnya. Ada boneka doraemon, spongebob, boneka beruang, boneka kucing, dan masih banyak lagi, tentunya dengan berbagai ukuran yang berbeda pula.
Beralih ke tempat lain, masih dalam ruangan yang sama. Di samping kasur terdapat satu buah meja kecil dan terdapat sebuah lampu tidur di atasnya. Berjejer pula beberapa bingkai foto yang memenuhi meja mungil itu. Semuanya berisikan tentang masa kecilnya. Sebuah buku diary juga bertengger manis di samping lampu tidur.
Tak lupa, sebagai pelajar, ada sebuah meja dan kursi belajar di dalam kamar itu. Letaknya juga di sudut, sehingga di tengah-tengah kamar tersebut menjadi lowong, kosong, hampa, hanya sebuah ambal kecil yang tergeletak pasrah di lantai. Tidak seperti gadis-gadis pada umumnya, yang mengisi meja belajarnya dengan beberapa tumpukan majalah dan tabloid. Gadis itu tak punya majalah, ia tak selera dengan majalah dan tabloid. Alhasil, banyak tumpukan novel dan komik disana.
“Nggak berubah… Masih sama”, Sena bergumam sendiri. Ia segera beranjak dari kamarnya menuju ruangan lain, yaitu dapur. Disana masih tergeletak piring-piring, gelas-gelas, dan perkakas dapur lainnya, tanpa perubahan apapun, semenjak dua tahun yang lalu. Dilihatnya dua buah sapu yang bersandar di dinding, tanpa pikir panjang Sena langsung meraih salah satu di antara mereka. Sena mulai membersihkan ruangan demi ruangan yang ada.
Beberapa jam berlalu, kini Sena sudah berada di kamarnya sendiri, tergeletak pasrah di atas kasur empuknya. Jam di kamar menunjukkan pukul 13.10. Belum terlalu siang. Sena gelisah, bingung apa yang harus ia lakukan sekarang dan beberapa jam ke depan. Waktunya tak lama lagi. Ia mulai bosan, sangat-sangat bosan. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya menuju meja belajar. Di usap-usapkan tangannya ke novel-novel yang ada. Novel, komik, dan beberapa buku pelajaran lebih tepatnya. Mereka semua penuh dengan debu bahkan sudah sedikit usang.
“Aku sepiii… Bukan sedih…”, matanya mulai menitikkan beberapa tetes air mata yang mengucur dari kedua mata indahnya. Lama-lama semakin deras dan tak terbendung lagi. Entah apa yang membuatnya menangis, tapi ia memang sedang memandangi sebuah bingkai foto yang berisikan fotonya beserta kedua orangtuanya. Batinnya terasa kaku saat itu juga, Sena yang dikenal sebagai gadis pendiam sekarang bisa meluapkan apa yang ada di hatinya. Perasaannya benar-benar kacau, sampai ia tak kuasa menahan tangisnya.
“Kenapa! Mereka gak peduli… Ini semua percuma!”, dengan suksesnya Sena berhasil marah-marah sendiri.
“Bodohhh…!!! Kamu bodoh Sena! Apa yang kamu lakukan disini?! Mereka semua nggak akan peka lagi sama kamu, nggak akan!!!”, Sena melanjutkan.
“Aku sepiii… Sepi sekali disana… Aku sendiri, tanpa teman… Kkaliannn, kaliaann memang jahat! Kalian mikirin diri sendiri… Aku capek, Sena capek! Kalian nggak pernah perhatian sama Sena! Kalian nggak tau apa-apa tentang Sena!!!”, ia terus memaki-maki dua orang yang ada dalam foto tersebut, siapa lagi kalau bukan kedua orangtuanya.
Sena tampak sangat frustasi, ia menghampas bingkai foto cantik itu dengan kasarnya hingga jatuh ke lantai dan sukses pecah dengan seketika. Ia terus-terusan menyalahkan kedua orangtuanya. Sakit hatinya masih terasa, apalagi ketika ia mengingat-ingat kembali kejadian sekitar dua tahun yang lalu. Kejadian yang benar-benar membuat kedua orangtuanya tercengang dan menyesal sampai sekarang.
“AAAAAHHH…….!!! Aku nggak mau ingat lagiii, nggak mauuu!!!”, Sena menutup telinganya dengan kedua tangannya. Ia menyandarkan dirinya di dinding kamar, lebih tepatnya di sudut kamar. Beralaskan lantai yang dingin, Sena duduk berjongkok di atasnya. Kakinya bersentuhan langsung dengan lantai, sehingga ia bisa merasakan dinginnya lantai yang ada. Masih dalam keadaan menutup telinga. Tapi kali ini, ia sudah tak menangis lagi. Tapi sangat jelas terlihat, matanya sangat sembab sekarang.
Sena berdiri dan malah duduk berjongkok di belakang pintu kamar, sembari membuka sebuah bungkusan makanan penutup, penutup untuk hari itu. Sena selalu berharap, malam-malam, bahkan hari-hari seperti ini tak pernah datang lagi. Tidak pernah berhenti mencari kedamaian, yang telah ia nantikan berlama-lama. Diambilnya serpihan-serpihan makanan yang jatuh ke lantai, sangat sayang bila tak diambil, fikirnya. Langsung ia makan dan tak peduli apakah itu masih bersih atau tidak. Sekali lagi, mereka jatuh, dan segera Sena ambil sebelum lima menit, batinnya. Saat Sena terbangun dari duduknya, ternyata serpihan-serpihan itu masih banyak, kembali Sena merunduk dan mengambilnya. Segera dimasukkan ke dalam mulut mungilnya, berharap serpihan itu akan mengenyangkan perut kosongnya. Agar ia tak perlu bersusah payah makan malam dengan suasana memilukan nantinya. Meskipun hanya serpihan keripik pedas yang ada di sebuah toples dapur yang diambilnya saat membersihkan rumah tadi.
Tak ada satu pun kata-kata yang terlontar dari mulut Sena saat itu. Terkecuali ketika ia mengingat omelan-omelan belaka yang biasa terlontar dari Ayah dan Ibunya kepada Sena. Sudah sangat renyah terdengar di telinganya. Sungguh gadis yang malang. Sena selalu benci keadaan seperti ini, dan berharap jam di dinding berputar lebih cepat agar Sena bisa bergegas pergi tidur, tidurnya yang panjang dan menjumpai apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Masa dimana Sena benar-benar bisa pergi dengan bebasnya, dan menemukan kehidupan baru. Biar saja mereka menyebutnya orang bodoh. Sena sudah biasa dengan kata-kata itu. Toh, mereka juga tidak akan peduli dengan banyaknya tetesan air mata yang keluar dari mata Sena hanya karena mereka. Untuk apa Sena bersusah payah mendengarnya, ini adil, bagi Sena.
                “Mereka jahat… Mereka nggak ngerti… Aku sakittt!!! Aku sakit… Hhhh… Hhhh… Hhhh…”, dada Sena mulai terasa sesak.
                “Aku sadar, sadar sekali! Aku tau diri kok, aku nggak perlu lagi datang kesini…”
“…”
“Tt..ttaappi.. Tapi aku sepi”, Sena kembali menangis tak karuan. Ia beranjak dari tempatnya menuju tempat tidur. Membiarkan dirinya beristirahat sejenak dengan pikiran-pikiran kacaunya. Dipandanginya satu-satu boneka yang berjejer di samping-sampingnya. Hanya dengan tatapan kosong. Lama-lama matanya mulai terpejam dan membuatnya tidur dengan cepatnya. 
                “AAAHHH…! Nggak bisa!!! Ini mimpi buruk! Ini nggak bener, aku nggak boleh kesini…!!!”, tiba-tiba matanya terbelalak dan mengucapkan kata-kata itu.
“Tapi, aku capek… Tahun kemaren adalah tahun yang hampa. Mereka tak menyadariku.. Apa mereka masih mengingatku???”, ucapnya perlahan.
“Tik… Tik… Tik…”, hanya suara jam dan kesunyian yang terjadi sesaat setelah itu. Sena berkali-kali membolak-balikkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Sena mulai menekan keras kepalanya. Bayangan tentang kejadian dua tahun yang lalu itu, masih terus bergelayutan di pikirannya. Ia ingin melupakan kenangan-kenangan pahit itu, mengingatnya saja Sena sudah tak sanggup, apalagi kalau ia harus merasakan kepahitan itu sekali lagi.
“Praannggg…”, sebuah bingkai foto lagi, berhasil mendarat di lantai. Dan itu adalah foto Sena sendiri. Seketika alam pun ikut termenung, tak lama setelah itu, hujan deras turun menyapa bumi, disertai gemuruh dan langit yang mulai menghitam.
“Ahhhhh… Aku bosannn! Apa yang harus kulakukan??? Apa mereka ingat denganku… Ingatkah mereka denganku??? Mungkinkah bayanganku saja sudah tak ada lagi di hati mereka? Haruskah aku pergi sekarang???”, Sena terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh.
“Sepertinya, alam sudah menyuruhku pulang…”, Sena melanjutkan.
Di luar sana, hujan turun dengan derasnya. Sena mulai beranjak dari tempat tidurnya. Selangkah demi selangkah ia mulai mengitari dan menyusuri setiap sudut kamarnya. Memandangi satu per satu apa saja yang ada disana. Ia mulai membuka pintu kamar. Ada segenap perasaan sedih disana. Kakinya mulai melangkah menuju ke ruang keluarga. Di tatapnya sederetan foto yang terpampang di dinding, tak ada foto dirinya disana. Satu pun sudah tak ada, padahal dulu banyak sekali.
“Haha.. Hah.. Mereka memang sudah lupa…”, ucapnya sambil tertawa, tawa yang menyiksa.
Burung-burung di rumah itupun juga ikut berkicau sejadi-jadinya. Seakan-akan mengucapkan ‘Selamat Tinggal’ kepada Sena. Seketika Sena memandang ke arah luar rumah. Sebentar lagi ia akan basah. Jam menunjukkan pukul 17.05 sore. Tetesan hujan itu seperti sudah menantinya.
“Tak perlu menunggu waktu lagi… Waktuku memang sudah habis”, Sena bergumam. Kali itu ia benar-benar meraih gagang pintu rumahnya dan perlahan mulai membukanya meskipun dengan gerakan lambat.
”Aku bingung kenapa aku tidak bisa menangis kali ini. Meskipun sudah mengeluarkan beberapa tetes air mata, tetap saja masih belum cukup bagiku. Hati ini rasanya benar-benar terkoyak. Aku ingin menangis sekarang hingga tersedu-sedu. Aku ingin berteriak. Aku ingin berlari jauh sekencang-kencangnya sampai aku tak mampu melangkahkan kaki ini lagi. Aku ingin sendiri. Aku ingin… Aku ingin… Aku benar-benar ingin… “
“…………”
“Tapi aku tak ingin sepi…”
“Aku ingin sendiri”
“Tanpa sepi”
“Aku bukan sedih”
“Tapi aku sepi…”
“Ini bukan keinginanku…”
“Kalian yang membuatku begini”
“Sampai jumpa…”
Ketika Sena sudah berada di luar rumah, ternyata suara langkah kaki dari kejauhan mulai terdengar. Ya, orangtuanya sudah pulang dari bekerja. Sena hanya memandangi mobil orangtuanya yang mulai masuk ke garasi. Mereka masih terlihat biasa, tak menyadari apa yang terjadi. Saat itu hujan turun semakin deras. Ibunya berlari kecil menuju pintu rumah. Tunggu dulu, hanya Ibunya yang menuju pintu rumah. Tapi dimana Ayahnya?
“Papa mana Ma?”
Diam dan hening sejenak. Perlahan Ibunya mulai membuka mata lebar-lebar dan menatap Sena dengan tatapan tidak menyangka.
“HAH…! Kka… Kkamuu… Kenapa???”, sontak Ibunya kaget melihat kedatangan Sena yang tak diduga-duga itu.
“Mama ingat?”
“Kkamuu!!! Kenapa kamu datang Sena…??? Kenapa bisa kesini…”, jawab Ibunya ketakutan.
“Haha.. Hahaha… Kenapa??? Mama tanya aku kenapa!!! Harusnya aku yang tanya, kenapa Mama nggak pernah peduli sama aku!! Hoo… Bukan cuma Mama, aku baru ingat bukan hanya Mama, tapi Papa juga!”, jawab Sena kasar.
“Maafkan Mama nak… Maaf sayang… Maaf… Mama menyesal sekali…”, Ibunya tiba-tiba terduduk lemas dan terpaku dan menangis sejadi-jadinya melihat Sena kembali.
“Maaf…??? Apa kalian tidak merasa dengan kedatangan ku tahun lalu! Tepat di tanggal yang sama dengan hari ini, tanggal 21 Oktober! Apa kalian ingat dengan hari itu??? Hah!!!”
“………”
“Tahun lalu aku kesini juga, tahun lalu aku 16 tahun! Dan hari ini… Hari ini tepat dimana aku berulang tahun ke 17 Ma! Mama nggak pernah ingat kan??? Mama nggak tau kan, setiap tahun aku selalu nungguin kejutan dari kalian, kejutan di hari pertambahan umurku! Aku benar-benar menantikan sweet seventeen ku dari dulu… Tapi kalian membuatnya berantakan!!! Aku nggak akan bisa ngerayain itu, nggak akan bisa!!! Sampai kapan pun nggak akan!!!”, Sena meluapkan emosinya dengan kasar.
“Sena sayang… Maafkan Mama dan Papa nak, kalau saja kami lebihh.. Lebih memperhatikan kamu… Pasti… Semua ini…”, Ibunya berbicara terbata-bata sambil terisak.
Tapi, sore itu ada yang berbeda. Sena kembali menyaksikan senja kuningnya. Sena merasa seperti dilahirkan kembali. Saat Sena sadar, ketenangan ini masih bersamaya. Ketenangan untuk selama-lamanya.
“Aku pergi Ma… Waktuku sudah habis… Aku harus kembali dan nggak akan kembali kesini lagi… Impianku sudah terwujud, bisa memberitau kalian tentang umurku sekarang, aku senang akhirnya aku dewasa… Makasih Ma… Makasih…”, Sena mulai beranjak pergi dan mulai menghilang dari pandangan Ibunya, menghilang di tengah-tengah barisan guyuran hujan yang membasahi Sena saat itu. Ibunya masih terduduk lemas di teras rumah sambil terus-terusan menangis dan memanggil nama Sena.
“Ma! Mama kenapa Ma… Ada dokumen Papa yang tertinggal di mobil tadi, Mama kenapa sih, Mama kenapa begini???”, tegur Ayah Sena sembari membangkitkan istrinya itu.
“Pa… Sena Pa… Sena?”, jawab istrinya lemas.
“Sena??? Kenapa Sena Ma???”
“Sena kembali Pa… Sena kembali… Dia datang kesini…”
“Hah! Mama ngigau! Nggak mungkin Ma… Itu halusinasi Mama aja… Nggak mungkin Ma! Sena kan sudah… Sena… Sena sudah meninggal Ma! Ingat Ma…”
“Sena Pa… Sena memang datang, dia ulang tahun hari ini Pa… Tepat di tanggal yang sama, tanggal yang sama dengan kematiannya dua tahun lalu Pa… Mama menyesal, Mama sayang sama Sena! Tapi Mama nggak bisa jagain dia… Mama… Mama sudah gagal Pa… Gagal”, ucap istrinya semakin terisak.
“Sudahlah Ma… Papa juga salah, seharusnya kita menjaga dia, seharusnya Papa nanggepin Sena saat ia mengelu-elukan sakit di perutnya. Papa kira dia cuma sakit perut biasa, tapi ternyata… Ternyata dia…”, ucap Ayah Sena tak sanggup.
“Kita mampu membayar orang untuk mendonorkan ginjalnya ke Sena! Kita mampu kan Pa??? Kita bisa bayar, kita bisa… Sena pasti akan dapat ginjal yang cocok dengannya, kita akan bayar kan Pa??? Jawab Pa jawab Mama!!!”, istrinya mengguncang-guncangkan tubuh suaminya.
“Iya Ma iya… Tapi kita nggak akan bisa… Kita nggak akan mampu membayar waktu yang telah berlalu agar kembali! Kita nggak bisa Ma… Kita nggak akan mampu membeli waktu. Semua yang berlalu biarlah berlalu Ma, kita harus mengikhlaskan Sena…”, ucap Ayah Sena tegas. Sore itu pun berlalu begitu saja, dengan senja kuning yang indah dan terpampang pelangi disana.

*Note: guys… hargailah waktu yang ada ya, karena setiap detiknya mengandung makna penting yang tak terduga, see you ^^