Jumat, 30 Agustus 2013
Kamis, 29 Agustus 2013
Rabu, 28 Agustus 2013
Jumat, 02 Agustus 2013
Jumat, 21 Juni 2013
Tanpa Judul
“Kriiiiiiing…
Kriiiiiiiiiiiiiing..”, terdengar suara bel dari setiap sudut kelas. Suasana
sekolah yang tak berubah, tetap begitu dan begitu saja bagi mereka. Mereka ya
mereka. Segerombolan anak-anak yang beranjak dewasa. Sekarang mereka sudah
bukan sekadar anak SMP yang umum dengan seragam putih birunya. Mereka sudah
beralih ke seragam putih abu-abu.
Jam sudah sedaritadi menunjukkan
pukul 07.30 pagi, seperti biasa, hanya ada beberapa anak yang sudah bertengger
manis di dalam kelas. Sisanya? Sisanya ya masih keluyuran di luar kelas, tapi
ada beberapa anak yang masih menghilang. Entah kemana, antara mengisi perutnya
untuk sekadar sarapan pagi di kantin atau masih nongkrong di jalan alias telat
berangkat ke sekolah.
Mereka adalah yang utama. Mereka
ada 5, dan diantara lima itu hanya ada satu yang utama. Lima anak laki-laki
yang sekarang menginjak kelas X atau kelas 1 SMA. Dikin, Fauzi, Nurani Pratama,
Aan, dan Adi. Nama yang menurut orang biasa-biasa saja, tapi jangan salah, tampang
mereka luar biasa. Dengan fisik yang sempurna dan lengkap. Tampang bukan
berarti wajah, tampang mereka memang lumayan. Tapi tampang yang dimaksud disini
adalah kepribadian mereka.
“Tak kenal maka tak sayang”. Itu
merupakan salah satu symbol bagaimana awal mulanya persahabatan kelima kaum
adam itu terjalin. Dengan sifat, sikap, dan watak yang berbeda, mereka mulai
saling mengenal satu sama lain. Kekompakkan mereka benar-benar luar biasa,
sangat jarang terbentuk persahabatan diantara beberapa laki-laki. Tentunya,
juga sangat sulit menyatukan beberapa pikiran dan pendapat yang berbeda-beda.
Tapi mereka bisa, sangat bisa. Itulah sebabnya, persahabatan mereka memang
benar-benar luar biasa.
Apalagi sesama jomblo, mereka
jadi bebas mengekspresikan apa yang mereka rasa dan inginkan, tanpa ada kata
‘dilarang’ oleh pacar. Tapi cap ‘jomblo’ itu membuat mereka lambat laun menjadi
agak miris. Pergaulan mereka menjadi tak luas, hanya itu-itu saja. Cap ‘kuper’
alias kurang pergaulan memang sangat pas untuk mereka. Tak ada yang berani
mendekat, bukan berarti karena mereka adalah anak-anak yang menyeramkan, tapi
karena mereka tidak membuka sosialisasinya masing-masing.
Hari demi hari berlalu. Tak
terasa mereka sudah beranjak ke semester dua. Adi, laki-laki berkacamata dengan
postur tubuh yang kurus namun tinggi, mulai merasakan ada keganjalan diantara
teman-temannya. Awalnya ia hanya biasa-biasa saja dan menyikapi dengan
sewajarnya. Ia pun juga tak banyak berkomentar. Namun kali ini, ia benar-benar
penasaran.
“An, futsal kah nanti sore?”,
tegur Adi saat bertemu dengan Aan di lobby sekolah.
“Wah, maaf bos.. Sore ini ada
kegiatan sama anak-anak ekskul, nggak bisa kayaknya”
“Yo sip lah, gampang, nanti ku
kasih tau buhannya yang lain”
“Buhannya siapa?”
“Ya siapa lagi? Buhan-buhan kita
lah, memangnya buhan siapa lagi?”, Adi mengernyitkan dahinya.
“Ohh.. Kukira buhannya Andi”,
jawab Aan santai.
“Lu ikut sama buhan Andi juga
kah? Sejak kapan?”
“Yoyoi, baru-baru aja kok men”
“Ah lu mah nggak bilang-bilang”
“Hahaha, ngapain gue pake acara
bilang segala? Memangnya ada pengaruhnya buat kalian? Toh kalian juga gak bakal
gabung sama kita-kita kan? Bener nggak sob?”, jawab Aan sembari meraih sesuatu
di saku celananya.
“Sorry sob kalo kata-kata gue
barusan nggak enak. Tapi sejujurnya gue pengen kalian itu membuka diri, gue
sudah nggak tahan diliatin mulu sama anak-anak cewek dengan tatapan sinis
mereka. Gue kan keren, masa gue cuma bergaul sama kalian-kalian aja. Kita harus
bergaul sama yang lain juga sob”, Aan melanjutkan.
“Haha. Makasih bro, mantep
ceramahnya barusan. Ehh, duluan…”, Adi menepuk bahu Aan sembai memasuki
kelasnya. Ya, mereka berlima memang tak semuanya satu kelas. Adi memikirkan
kata-kata Aan sejenak. Benar juga, pikirnya. Sejak saat itulah Adi mulai tak
berdiam diri lagi, ia semakin sering bergabung dan membaur dengan
teman-temannya yang lain. Dan ternyata, tanpa disangka-sangka, sepertinya Adi
ketinggalan berita. Empat orang sahabatnya itu ternyata juga sudah berubah,
mereka sudah bisa bergaul dan membaur dengan yang lain seperti Adi.
“Kriing... Kriing.. Kriing..”,
bel tanda istirahat berkicau ria. Adi hanya duduk di dalam kelas sendiri,
menunggu empat orang itu, yang biasa menghampirinya ke kelas. Detik demi detik,
menit, demi menit, tak ada tanda-tanda mereka akan datang. Tak satupun
menampakkan batang hidungnya, Alhasil, Adi pun beranjak dari kursinya menuju
keluar kelas. Baru sampai di depan pintu kelas, seseorang menghampiri Adi.
“Eh, Adi, kebetulan kamu di luar”
“Ya, kenapa Yu?”, Adi menjawab
seseorang di depannya itu, dia bukan laki-laki, melainkan perempuan bernama
Ayu.
“Rapat OSIS habis istirahat ya!
Di tunggu di ruang media”, jawab Ayu sambil berjalan.
“Eh sekarang aja kalo bisa ke
media nda papa”, Ayu melanjutkan.
“Eh.. Eh.. Tunggu Yu, ngapain?
Habis ini pelajaran eksak aku”
“Rapat tentang study tour kita
pas libur kenaikan kelas nanti, nda papa sudah dibikinkan surat dispen kita
sama Pembina OSIS. Ayo sudah sekarang, banyak sudah yang kesana”
“Aku nunggu Aan, Dikin, Fauzi
sama Nur dulu Yu, nanti aku nyusul”
“Haa??? Mereka semua sudah disana
daritadi masbro!”
“Oyakah? Yasudah, aku ngambil
uang dulu di tas”
“Buat apa je’ nah! Nda belanja
juga toh, ada snack di kasih, tenang aja”
”Yo wes..”
Akhirnyaa Adi pun sukses
membuntuti Ayu yang berjalan dengan cepatnya menuju ke ruang rapat OSIS. Dibukanya
oleh Ayu pintu ruang media yang semula tertutup. Disana sudah berjejer
anak-anak OSIS yang memang sudah sedaritadi berkumpul. Empat orang rekannya pun
tak luput dari pandangannya. Tapi, tunggu dulu. Empat orang itu tak bersama,
mereka terpisah.
“Woy! Ngapain lu betengger
sendiri disini”, Adi menepuk Dikin dengan spontan.
“Hoi! Bikin kaget aja lu, kampret
lu Di!”, jawab Dikin sambil mengelus-elus dadanya.
“ Hahahaha.. Sorry masbro,
ngapain lu sendiri?”
“Lu gimana sih, kagak liat gue
duduk manis disini menunggu sang ketua?!”
“Wuihhh, sensitip amat lu hari
ini. Melankolis lu bro, awas lu, gue bakar rumah lu!”
“Halah, omonganmu Di! Ku bakar
kosmu baru tau, hahaha!”, jawab Dikin dengan bangganya. Ya, Adi memang seorang
anak kos.
“Eh ayo gabung sama buhannya. Itu
nah dipojokan ada Fauzi sama Lea”, ajak Adi.
“Malas cuy, nda level lagi gua…”
“……”
“Ngerti kagak lu Di”
“Apaan?”, jawab Adi penasaran.
“Itu noh yang dipojok bedua lu
bilang, mereka tu pacaran”
“Ahh, yang bener! Fauzi berani
nembak cewek? Lea??? Lea yang dia tembak mau nerima Fauzi, seriusan lu
masbro?!”
“Aku aja beberapa jam lalu
taunya, nyampe depan pintu ini ruangan, aku masih belom sadar tu bedua pacaran.
Ehh pas di lihat, dua insan itu sudah ada di pojokan, baru aku nyadar
sesadar-sadarnya”
“Kata-katamu Kin, the best! Kamu
hebat”, Adi memamerkan kedua jempol tangannya kepada Dikin.
“Elehh, aku males-malesan hari
ini main futsal. Kalo cewek-cewek bilang sih badmood gitu”
“Aduh ciinn… Iiihhh bisa aja”,
jawab Adi dengan gaya bencis alias banci.
“Kampret lu. Cucok deh bo’”
“Halahhh, lu aja begitu! Yo sip
nda papa nda futsal hari ini. Yang lain juga pada sibuk. Tadi pagi pas ketemu
Aan dia bilang sibuk ekskul”
“He’eh, Nur juga ada tugas
kelompok bilangnya. Banyak yang mikirin tugas jadi ikutan pusing aku, banyak
betul, tugasnya maksa-maksa lagi, nda tanggung-tanggung eh cuy!”
“Nikmatin ajalah masbro, demi
nilai, bentar lagi kelas dua kita men. Penjurusan sudah, harus cari nilai
bagus-bagus ini biar masuk ke jurusan yang dipilih”
“Adi.. Adi.. Lu mah enak, otak lu
mulus, berjalan dengan lancar bagaikan jalan tol, dan bagaikan air hujan yang
mengalir dengan deras. Lancar tanpa ada hambatan”
“Halah halah, kampret lu,
bahasamu tu nah Kin! Alay cuy alay!”
“Biar aja, nda urus aku. Aku mau
jadi anak kos juga kalo gitu, siapa tau otakku bisa lebih bagus kalo aku
ngekos, ya kan?”
“Emak, bapak lu ada disini
ngapain lu ngekos! Sialan lu, ngolok-ngolok anak kos. Lu enak tau,
pulang-pulang tinggal terima beres, lah gua??? Nyuci belom, ngapa-ngapain
belom”
“Londri dong mas bro londri!
6.000 sekilo men”
“Mandiri dong cuy, mandi sendiri,
hahahaha!!!”
“Heheh!! Ssssttt, si ketua
datang, silent please…”, tegur salah satu anggota OSIS lainnya, seketika mereka
berdua terdiam dan malah saling tatap-tatapan.
Beberapa saat kemudian rapat
ditutup, dengan hasil yang cukup memuaskan, yaitu mereka akan melakukan study
tour saat libur kenaikan kelas. Seluruh anak OSIS setuju dan dengan senang hati
mengikutinya. Satu persatu dari mereka mulai kembali ke kelas masing-masing.
Adi masih bersama Dikin. Mereka hanya berdua, sedangkan yang tiga, sudah
kembali ke kelas tanpa bertegur sapa. Saat itu Adi benar-benar merasa bahwa
persahabatan ini mulai merenggang, ia merasa bahwa dirinya sudah tidak pantas
lagi bersama keempat rekannya yang lain. Dan mulai saat itu juga, pribadi Adi
berubah, ia lebih sering menutup mulutnya, dengan kata lain, Adi sudah tidak
banyak berbicara.
Sekarang, Adi lebih sering
sendiri. Tampak dari kejauhan, rekan-rekannya juga asyik sendiri. Namun, Adi
masih disegani oleh teman-teman sekelasnya. Adi lebih sering dihampiri daripada
menghampiri. Tak masalah baginya. Ia sadar, yang terpenting sekarang adalah
belajar dan mulai memikirkan bagaimana kedepannya. Karena tak lama lagi,
Ulangan Kenaikan Kelas akan segera menghampiri siswa-siswi tersebut.
Adi sadar, ini mungkin baru awal.
Pencarian jati dirinya masih berlanjut. Jantung Adi berdegup kencang, saat ia
mencoba mengingat-ingat kembali kejadian beberapa bulan yang lalu. Saat dimana
ia akan menjadi murid baru di sekolahnya. Pendaftaran, adalah hal umum dan
wajib dilakukan. Adi tak mengenal siapa pun saat itu dan hanya bisa menatap
satu persatu wajah calon murid-murid baru. Ia tak yakin akan diterima di
sekolah yang termasuk salah satu sekolah favorit itu, tapi hati kecilnya terus
memaksa. Seakan cita-citanya akan berawal dari sekolah ini. Sampai pada
akhirnya…
“Permisi, sendiri?”, tegur
seseorang dari arah belakang.
“Eh, oh.. Iya sendiri”
“Nomor antrian berapa?”
“77, situ berapa?”
“65. Begini, saya bisa minta
tolong?”
“Ya???”
“Saya harus ke toilet, saya titip
formulir ini sebentar bisa?”
“Bisa sih bisa. Tapi ini sudah
antrian nomor 58, sebentar lagi menuju 65? Apa nda sebaiknya di tunggu aja dulu
sebentar?”, ajak Adi dengan sopan.
“Nda papa, saya harus ke toilet
sebentar, sudah kebelet soalnya, titip dulu ya”, orang itu pun berlalu. Di
situlah Adi mengetahui bahwa orang itu akrab dipanggil Fauzi. Dipandanginya
formulir teman barunya itu dengan sesaat, sembari menunggu waktu yang ada. Jam
masih menunjukkan pukul 09.00 pagi, tapi sudah banyak yang datang dan
mengantri. Dan tibalah giliran si Fauzi, sedangkan ia masih belum kembali. Adi
bingung dan mulai panik. Ia menatap selebaran yang ada di tangannya. Kemana si
pemilik formulir ini? Nomor urut 65 sudah sedaritadi di panggil dan Adi masih
dalam keadaan bingung. Akhirnya, Ia mengambil sebuah keputusan. Ia langkahkan
kakinya perlahan menuju loket pendaftaran, saat ia hendak memberi formulir
Fauzi tiba-tiba saja…
“Hhh…hhh…hhh… No..nomor.. Nomor
ss.. Nomor saya ya??? Hhh…hhh…hhh”, Fauzi Nampak terengah-engah.
“Iya, untung saja. Ini
formulirnya”, Adi memberikan selebaran itu kepada sang pemiliknya dan segera
kembali ke ruang tunggu. Tak perlu menunggu waktu lama, kini Fauzi telah
selesai dengan urusannya.
“Eh bro, makasih banyak tadi ya,
sorry lho ngerepotin”, tegur Fauzi kepada Adi yang masih mengantri.
“Haha, nda papa nyantai aja”
“Nama, siapa nama?”
“Panggil aja Adi, kalo ketemu
lagi panggil aja Adi”
“Ya pastilah ketemu lagi! Harus
optimis masuk”
“Haha betul itu betul, sendiri?”
“Nggak, masih ada 3 orang lagi,
urutannya ngepas di belakang saya sih tadi. Rencananya mau nitip formulir ke
mereka aja, tapi mereka nggak ada eh, jadi bingung sendiri. Untung ada lu,
siapa tadi namanya?”
“Adi, ohh gitu… Mungkin yang di
belakangmu ini teman-temanmu?”
“Di belakang mana?”
“Ini di belakangmu sekarang?”,
Adi menunjuk ke arah belakang Fauzi, Fauzi pun menoleh dengan cepatnya.
“Hoo.. Haha iya, ini
teman-temanku. Dikin, Aan, Nurani Pratama”, Fauzi memperkenalkan teman-temannya
satu persatu. Dari situlah Adi merasa bahwa ia tak sendiri. Ia memiliki teman
sekarang. Ia tak perlu khawatir dan susah-susah mencari kenalan baru nantinya.
Ia tersenyum sesaat setelah
mengingat-ingat hal itu, tak terasa, ia sudah lama bersama rekan-rekan yang
baru dikenalnya di awal SMA. Mereka orang-orang baik dan sangat segan dengan
Adi, hanya saja mereka sedang asyik dengan urusannya masing-masing sekarang.
Beberapa waktu telah berlalu,
Ulangan Kenaikan Kelas yang akrab disapa dengan UKK juga telah berlalu. Satu
persatu personil dari persahabatan lima anak laki-laki itu pun mulai kembali
dan saling bertegur sapa. Mereka mulai bernostalgia kembali dan bercakap-cakap
dengan santainya. Seakan mereka baru kenal kembali.
“Gimana hasil Di?”, tanya Aan.
“Ya begitu-begitu aja, masih
tetap-tetap aja tapi lumayan lah ada peningkatan, kalian?”, jawab Adi santai.
“Iya bro, sama aja”, jawab Nur.
“Class meetingnya kapan, aku nda
ikut rapat eh kemaren?”, balas Fauzi.
“Pacaran mulu sih lu, kewajiban
dilupain!”, ucap Dikin yang memang memiliki watak ceplas ceplos.
“Hah nda usah diingat-ingat lagi,
males. Ternyata punya pacar atau nggak, tetep aja gue keinget terus sama
kutukupret kayak kalian ini”, jawab Fauzi.
“Sialan lu Zi! Cieee… Ada yang
marahan nih sama ceweknya”, goda Nur ikut-ikutan.
“Bukannya gitu, gue lambat laun
sadar, kita semua udah lama gak bareng-bareng lagi men. Nyadar nggak sih?
Biasanya main futsal bareng, begitaran sama vokalis kita nih si Adi, ngambur
kosnya Adi. Gue kangen sob!”, jawab Fauzi panjang lebar.
“Ohh, jadi kalian juga mikirin
hubungan kita yang merenggang ini toh? Kirain kalian sudah bener-bener lupa,
lupa, dan lupa”, jawab Adi yang sedaritadi hanya bisa diam.
“Hubungan??? Bahasamu ngeri eh
sekarang Di, haha”, cetus Aan. Hari itu pun berlalu begitu saja Hingga tiba
saatnya, dimana mereka harus melakukan kegiatan study tour di luar kota.
“Ehh ehh.. Foto bareng dulu, kita
nda punya satu pun foto berlima kan? Buat kenang-kenangan”, ajak Aan kepada
keempat sahabatnya itu. Mereka pun berpose ria layaknya seorang model
laki-laki, benar-benar kelakuan yang ada-ada saja. Dengan gagahnya mereka
menampilkan ekspresi yang membuahkan hasil terbaik.
“Gila… Kalau berlima gini, gue
ingat waktu Fauzi nitipin formulirnya ke gue gara-gara kebelet, kocak banget
waktu itu dia ngos-ngosan dari toilet. Mukanya Fauzi bener-bener panik”, Adi
berbicara sambil memandangi foto-foto mereka barusan.
“Hahaha! Masih ingat aja lu, kalo
nggak gitu, mungkin kita nggak kayak sekarang ini. Mungkin kita nggak pernah
kenal”, jawab Fauzi.
“Mungkin kenal aja, tapi nggak
seakrab gini…”, Nur ikutan nimbrung.
“Woy bro! Jangan sibuk sama
urusan sendiri makanya, gue sedih nih, terharu kita berlima bisa sama-sama
lagi…”, ucap Dikin.
“Buset dah Dikin, cengeng amat
lu”, cetus Nur.
“Nda terasa kita sudah memasuki
kelas dua ya? Nda lama lagi kelas tiga, terus ujian”, Adi mengalihkan
pembicaraan.
“Iya, jalani aja apa yang ada,
sukses untuk kita semua!”, tegas Aan.
Hari itu benar-benar hari baru
buat mereka berlima. Mereka berhasil melepas kepenatan yang ada selama duduk di
kelas satu. Suasana hari itu sangat cerah, secerah persahabatan kelima kaum
adam tersebut. Suasana mengharukan juga tak luput dari mereka, karena Dikin. Si
cowok cuek dan ceplas ceplos, tetapi mudah tersentuh hatinya. Akhirnya mereka
bisa tertawa bersama lagi. Pada dasarnya itu semua hanya tentang waktu. Dan
mereka berhasil menemukan waktu mereka.
Rabu, 19 Juni 2013
Ketika "Waktu" tidak bisa dibeli
“Kriik… Kriik… Kriikk…”,
terdengar suara jangkrik dari halaman rumah itu. Masih pagi, jam masih
menunjukkan pukul 08.00 tepat. Sena, seorang gadis bertubuh mungil sudah
sedaritadi berdiri di ruang tamu. Berulang kali ia menolehkan kepalanya ke
sekeliling rumah itu. Rumah yang tak asing baginya. Sejenak ia menyadari
hal-hal yang terasa biasa untuknya. Yaitu keadaan rumah yang selalu berantakan
di pagi hari.
“Hmmpphh… Selalu saja”, Sena
mengendus kesal. Kebiasaan orangtuanya yang selalu pergi bekerja dengan
terburu-buru, sehingga membuat keadaan rumah seperti kapal yang hampir pecah.
Orangtuanya memang sengaja, karena tau kalau Sena akan segera membereskan
seluruh ruangan rumah sampai rapi dan enak dipandang mata. Tapi itu sudah tak
akan lagi terjadi.
Kembali Sena melihat
sekelilingnya. Di dalam rumah itu masih terdapat 13 ekor kucing-kucing
kesayangannya. Ia tersenyum lebar melihatnya. Tak lupa, beberapa ekor burung
yang sedang sibuk bersiul, juga tak luput dari pandangannya. Sepertinya
binatang-binatang itu sangat senang dengan kedatangan tuan rumahnya yang sudah lama
pergi dan kembali lagi.
“Sepi…”, Sena bergumam sambil
mengelus kucing-kucingnya. Sena memang gadis yang pendiam. Ia tak banyak
melakukan kegiatan di luar rumah, karena sifatnya yang pemalu. Sena juga
merupakan anak tunggal di keluarga itu. Ya, memang anak tunggal. Tak tau pasti,
sampai kapankah gelar ‘anak tunggal’ itu masih akan menempel pada dirinya.
Sena beranjak dari tempat semula,
menuju salah satu ruangan. Ruangan persegi yang berada di sudut rumah.
Tepatnya, kamarnya sendiri. Kamar itu sangat rapi, sebagaimana kamar perempuan.
Sebuah lemari pakaian berdiri di salah satu pojok ruangan. Lemari itu
bertutupkan tiga buah pintu, dengan pintu tengah yang dilapisi sebuah kaca
panjang, sehingga siapapun yang berada di depannya dapat melihat pribadinya
sendiri dengan utuh.
Di seberangnya, terdapat sebuah
kasur dengan ukuran untuk satu orang. Berlapiskan sprei dan selimut tebal
berwarna pink yang dipadupadankan dengan warna biru laut. Tak lupa dengan
deretan boneka yang berjejer diatasnya. Ada boneka doraemon, spongebob, boneka
beruang, boneka kucing, dan masih banyak lagi, tentunya dengan berbagai ukuran
yang berbeda pula.
Beralih ke tempat lain, masih
dalam ruangan yang sama. Di samping kasur terdapat satu buah meja kecil dan
terdapat sebuah lampu tidur di atasnya. Berjejer pula beberapa bingkai foto
yang memenuhi meja mungil itu. Semuanya berisikan tentang masa kecilnya. Sebuah
buku diary juga bertengger manis di samping lampu tidur.
Tak lupa, sebagai pelajar, ada
sebuah meja dan kursi belajar di dalam kamar itu. Letaknya juga di sudut,
sehingga di tengah-tengah kamar tersebut menjadi lowong, kosong, hampa, hanya
sebuah ambal kecil yang tergeletak pasrah di lantai. Tidak seperti gadis-gadis
pada umumnya, yang mengisi meja belajarnya dengan beberapa tumpukan majalah dan
tabloid. Gadis itu tak punya majalah, ia tak selera dengan majalah dan tabloid.
Alhasil, banyak tumpukan novel dan komik disana.
“Nggak berubah… Masih sama”, Sena
bergumam sendiri. Ia segera beranjak dari kamarnya menuju ruangan lain, yaitu
dapur. Disana masih tergeletak piring-piring, gelas-gelas, dan perkakas dapur
lainnya, tanpa perubahan apapun, semenjak dua tahun yang lalu. Dilihatnya dua
buah sapu yang bersandar di dinding, tanpa pikir panjang Sena langsung meraih
salah satu di antara mereka. Sena mulai membersihkan ruangan demi ruangan yang
ada.
Beberapa jam berlalu, kini Sena
sudah berada di kamarnya sendiri, tergeletak pasrah di atas kasur empuknya. Jam
di kamar menunjukkan pukul 13.10. Belum terlalu siang. Sena gelisah, bingung
apa yang harus ia lakukan sekarang dan beberapa jam ke depan. Waktunya tak lama
lagi. Ia mulai bosan, sangat-sangat bosan. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk
beranjak dari tempat tidurnya menuju meja belajar. Di usap-usapkan tangannya ke
novel-novel yang ada. Novel, komik, dan beberapa buku pelajaran lebih tepatnya.
Mereka semua penuh dengan debu bahkan sudah sedikit usang.
“Aku sepiii… Bukan sedih…”,
matanya mulai menitikkan beberapa tetes air mata yang mengucur dari kedua mata
indahnya. Lama-lama semakin deras dan tak terbendung lagi. Entah apa yang
membuatnya menangis, tapi ia memang sedang memandangi sebuah bingkai foto yang
berisikan fotonya beserta kedua orangtuanya. Batinnya terasa kaku saat itu
juga, Sena yang dikenal sebagai gadis pendiam sekarang bisa meluapkan apa yang
ada di hatinya. Perasaannya benar-benar kacau, sampai ia tak kuasa menahan
tangisnya.
“Kenapa! Mereka gak peduli… Ini
semua percuma!”, dengan suksesnya Sena berhasil marah-marah sendiri.
“Bodohhh…!!! Kamu bodoh Sena! Apa
yang kamu lakukan disini?! Mereka semua nggak akan peka lagi sama kamu, nggak
akan!!!”, Sena melanjutkan.
“Aku sepiii… Sepi sekali disana…
Aku sendiri, tanpa teman… Kkaliannn, kaliaann memang jahat! Kalian mikirin diri
sendiri… Aku capek, Sena capek! Kalian nggak pernah perhatian sama Sena! Kalian
nggak tau apa-apa tentang Sena!!!”, ia terus memaki-maki dua orang yang ada
dalam foto tersebut, siapa lagi kalau bukan kedua orangtuanya.
Sena tampak sangat frustasi, ia
menghampas bingkai foto cantik itu dengan kasarnya hingga jatuh ke lantai dan
sukses pecah dengan seketika. Ia terus-terusan menyalahkan kedua orangtuanya.
Sakit hatinya masih terasa, apalagi ketika ia mengingat-ingat kembali kejadian
sekitar dua tahun yang lalu. Kejadian yang benar-benar membuat kedua
orangtuanya tercengang dan menyesal sampai sekarang.
“AAAAAHHH…….!!! Aku nggak mau
ingat lagiii, nggak mauuu!!!”, Sena menutup telinganya dengan kedua tangannya.
Ia menyandarkan dirinya di dinding kamar, lebih tepatnya di sudut kamar.
Beralaskan lantai yang dingin, Sena duduk berjongkok di atasnya. Kakinya
bersentuhan langsung dengan lantai, sehingga ia bisa merasakan dinginnya lantai
yang ada. Masih dalam keadaan menutup telinga. Tapi kali ini, ia sudah tak
menangis lagi. Tapi sangat jelas terlihat, matanya sangat sembab sekarang.
Sena berdiri dan malah duduk
berjongkok di belakang pintu kamar, sembari membuka sebuah bungkusan makanan
penutup, penutup untuk hari itu. Sena selalu berharap, malam-malam, bahkan
hari-hari seperti ini tak pernah datang lagi. Tidak pernah berhenti mencari
kedamaian, yang telah ia nantikan berlama-lama. Diambilnya serpihan-serpihan
makanan yang jatuh ke lantai, sangat sayang bila tak diambil, fikirnya.
Langsung ia makan dan tak peduli apakah itu masih bersih atau tidak. Sekali
lagi, mereka jatuh, dan segera Sena ambil sebelum lima menit, batinnya. Saat
Sena terbangun dari duduknya, ternyata serpihan-serpihan itu masih banyak,
kembali Sena merunduk dan mengambilnya. Segera dimasukkan ke dalam mulut
mungilnya, berharap serpihan itu akan mengenyangkan perut kosongnya. Agar ia
tak perlu bersusah payah makan malam dengan suasana memilukan nantinya.
Meskipun hanya serpihan keripik pedas yang ada di sebuah toples dapur yang
diambilnya saat membersihkan rumah tadi.
Tak ada satu pun kata-kata yang
terlontar dari mulut Sena saat itu. Terkecuali ketika ia mengingat
omelan-omelan belaka yang biasa terlontar dari Ayah dan Ibunya kepada Sena.
Sudah sangat renyah terdengar di telinganya. Sungguh gadis yang malang. Sena
selalu benci keadaan seperti ini, dan berharap jam di dinding berputar lebih
cepat agar Sena bisa bergegas pergi tidur, tidurnya yang panjang dan menjumpai
apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Masa dimana Sena benar-benar bisa
pergi dengan bebasnya, dan menemukan kehidupan baru. Biar saja mereka
menyebutnya orang bodoh. Sena sudah biasa dengan kata-kata itu. Toh, mereka
juga tidak akan peduli dengan banyaknya tetesan air mata yang keluar dari mata
Sena hanya karena mereka. Untuk apa Sena bersusah payah mendengarnya, ini adil,
bagi Sena.
“Mereka jahat… Mereka nggak
ngerti… Aku sakittt!!! Aku sakit… Hhhh… Hhhh… Hhhh…”, dada Sena mulai terasa
sesak.
“Aku sadar, sadar sekali! Aku
tau diri kok, aku nggak perlu lagi datang kesini…”
“…”
“Tt..ttaappi.. Tapi aku sepi”,
Sena kembali menangis tak karuan. Ia beranjak dari tempatnya menuju tempat
tidur. Membiarkan dirinya beristirahat sejenak dengan pikiran-pikiran kacaunya.
Dipandanginya satu-satu boneka yang berjejer di samping-sampingnya. Hanya
dengan tatapan kosong. Lama-lama matanya mulai terpejam dan membuatnya tidur
dengan cepatnya.
“AAAHHH…! Nggak bisa!!! Ini
mimpi buruk! Ini nggak bener, aku nggak boleh kesini…!!!”, tiba-tiba matanya
terbelalak dan mengucapkan kata-kata itu.
“Tapi, aku capek… Tahun kemaren
adalah tahun yang hampa. Mereka tak menyadariku.. Apa mereka masih
mengingatku???”, ucapnya perlahan.
“Tik… Tik… Tik…”, hanya suara jam
dan kesunyian yang terjadi sesaat setelah itu. Sena berkali-kali
membolak-balikkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Sena mulai menekan keras
kepalanya. Bayangan tentang kejadian dua tahun yang lalu itu, masih terus
bergelayutan di pikirannya. Ia ingin melupakan kenangan-kenangan pahit itu,
mengingatnya saja Sena sudah tak sanggup, apalagi kalau ia harus merasakan
kepahitan itu sekali lagi.
“Praannggg…”, sebuah bingkai foto
lagi, berhasil mendarat di lantai. Dan itu adalah foto Sena sendiri. Seketika
alam pun ikut termenung, tak lama setelah itu, hujan deras turun menyapa bumi,
disertai gemuruh dan langit yang mulai menghitam.
“Ahhhhh… Aku bosannn! Apa yang
harus kulakukan??? Apa mereka ingat denganku… Ingatkah mereka denganku???
Mungkinkah bayanganku saja sudah tak ada lagi di hati mereka? Haruskah aku
pergi sekarang???”, Sena terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh.
“Sepertinya, alam sudah
menyuruhku pulang…”, Sena melanjutkan.
Di luar sana, hujan turun dengan
derasnya. Sena mulai beranjak dari tempat tidurnya. Selangkah demi selangkah ia
mulai mengitari dan menyusuri setiap sudut kamarnya. Memandangi satu per satu
apa saja yang ada disana. Ia mulai membuka pintu kamar. Ada segenap perasaan
sedih disana. Kakinya mulai melangkah menuju ke ruang keluarga. Di tatapnya
sederetan foto yang terpampang di dinding, tak ada foto dirinya disana. Satu
pun sudah tak ada, padahal dulu banyak sekali.
“Haha.. Hah.. Mereka memang sudah
lupa…”, ucapnya sambil tertawa, tawa yang menyiksa.
Burung-burung di rumah itupun
juga ikut berkicau sejadi-jadinya. Seakan-akan mengucapkan ‘Selamat Tinggal’
kepada Sena. Seketika Sena memandang ke arah luar rumah. Sebentar lagi ia akan
basah. Jam menunjukkan pukul 17.05 sore. Tetesan hujan itu seperti sudah
menantinya.
“Tak perlu menunggu waktu lagi…
Waktuku memang sudah habis”, Sena bergumam. Kali itu ia benar-benar meraih
gagang pintu rumahnya dan perlahan mulai membukanya meskipun dengan gerakan
lambat.
”Aku bingung kenapa aku tidak
bisa menangis kali ini. Meskipun sudah mengeluarkan beberapa tetes air mata,
tetap saja masih belum cukup bagiku. Hati ini rasanya benar-benar terkoyak. Aku
ingin menangis sekarang hingga tersedu-sedu. Aku ingin berteriak. Aku ingin
berlari jauh sekencang-kencangnya sampai aku tak mampu melangkahkan kaki ini
lagi. Aku ingin sendiri. Aku ingin… Aku ingin… Aku benar-benar ingin… “
“…………”
“Tapi aku tak ingin sepi…”
“Aku ingin sendiri”
“Tanpa sepi”
“Aku bukan sedih”
“Tapi aku sepi…”
“Ini bukan keinginanku…”
“Kalian yang membuatku begini”
“Sampai jumpa…”
Ketika Sena sudah berada di luar
rumah, ternyata suara langkah kaki dari kejauhan mulai terdengar. Ya,
orangtuanya sudah pulang dari bekerja. Sena hanya memandangi mobil orangtuanya
yang mulai masuk ke garasi. Mereka masih terlihat biasa, tak menyadari apa yang
terjadi. Saat itu hujan turun semakin deras. Ibunya berlari kecil menuju pintu
rumah. Tunggu dulu, hanya Ibunya yang menuju pintu rumah. Tapi dimana Ayahnya?
“Papa mana Ma?”
Diam dan hening sejenak. Perlahan
Ibunya mulai membuka mata lebar-lebar dan menatap Sena dengan tatapan tidak
menyangka.
“HAH…! Kka… Kkamuu… Kenapa???”,
sontak Ibunya kaget melihat kedatangan Sena yang tak diduga-duga itu.
“Mama ingat?”
“Kkamuu!!! Kenapa kamu datang
Sena…??? Kenapa bisa kesini…”, jawab Ibunya ketakutan.
“Haha.. Hahaha… Kenapa??? Mama
tanya aku kenapa!!! Harusnya aku yang tanya, kenapa Mama nggak pernah peduli
sama aku!! Hoo… Bukan cuma Mama, aku baru ingat bukan hanya Mama, tapi Papa
juga!”, jawab Sena kasar.
“Maafkan Mama nak… Maaf sayang…
Maaf… Mama menyesal sekali…”, Ibunya tiba-tiba terduduk lemas dan terpaku dan
menangis sejadi-jadinya melihat Sena kembali.
“Maaf…??? Apa kalian tidak merasa
dengan kedatangan ku tahun lalu! Tepat di tanggal yang sama dengan hari ini,
tanggal 21 Oktober! Apa kalian ingat dengan hari itu??? Hah!!!”
“………”
“Tahun lalu aku kesini juga,
tahun lalu aku 16 tahun! Dan hari ini… Hari ini tepat dimana aku berulang tahun
ke 17 Ma! Mama nggak pernah ingat kan??? Mama nggak tau kan, setiap tahun aku
selalu nungguin kejutan dari kalian, kejutan di hari pertambahan umurku! Aku
benar-benar menantikan sweet seventeen ku dari dulu… Tapi kalian membuatnya
berantakan!!! Aku nggak akan bisa ngerayain itu, nggak akan bisa!!! Sampai
kapan pun nggak akan!!!”, Sena meluapkan emosinya dengan kasar.
“Sena sayang… Maafkan Mama dan
Papa nak, kalau saja kami lebihh.. Lebih memperhatikan kamu… Pasti… Semua
ini…”, Ibunya berbicara terbata-bata sambil terisak.
Tapi, sore itu ada yang berbeda.
Sena kembali menyaksikan senja kuningnya. Sena merasa seperti dilahirkan kembali.
Saat Sena sadar, ketenangan ini masih bersamaya. Ketenangan untuk
selama-lamanya.
“Aku pergi Ma… Waktuku sudah
habis… Aku harus kembali dan nggak akan kembali kesini lagi… Impianku sudah
terwujud, bisa memberitau kalian tentang umurku sekarang, aku senang akhirnya
aku dewasa… Makasih Ma… Makasih…”, Sena mulai beranjak pergi dan mulai
menghilang dari pandangan Ibunya, menghilang di tengah-tengah barisan guyuran
hujan yang membasahi Sena saat itu. Ibunya masih terduduk lemas di teras rumah
sambil terus-terusan menangis dan memanggil nama Sena.
“Ma! Mama kenapa Ma… Ada dokumen
Papa yang tertinggal di mobil tadi, Mama kenapa sih, Mama kenapa begini???”,
tegur Ayah Sena sembari membangkitkan istrinya itu.
“Pa… Sena Pa… Sena?”, jawab
istrinya lemas.
“Sena??? Kenapa Sena Ma???”
“Sena kembali Pa… Sena kembali…
Dia datang kesini…”
“Hah! Mama ngigau! Nggak mungkin
Ma… Itu halusinasi Mama aja… Nggak mungkin Ma! Sena kan sudah… Sena… Sena sudah
meninggal Ma! Ingat Ma…”
“Sena Pa… Sena memang datang, dia
ulang tahun hari ini Pa… Tepat di tanggal yang sama, tanggal yang sama dengan
kematiannya dua tahun lalu Pa… Mama menyesal, Mama sayang sama Sena! Tapi Mama
nggak bisa jagain dia… Mama… Mama sudah gagal Pa… Gagal”, ucap istrinya semakin
terisak.
“Sudahlah Ma… Papa juga salah,
seharusnya kita menjaga dia, seharusnya Papa nanggepin Sena saat ia
mengelu-elukan sakit di perutnya. Papa kira dia cuma sakit perut biasa, tapi
ternyata… Ternyata dia…”, ucap Ayah Sena tak sanggup.
“Kita mampu membayar orang untuk
mendonorkan ginjalnya ke Sena! Kita mampu kan Pa??? Kita bisa bayar, kita bisa…
Sena pasti akan dapat ginjal yang cocok dengannya, kita akan bayar kan Pa???
Jawab Pa jawab Mama!!!”, istrinya mengguncang-guncangkan tubuh suaminya.
“Iya Ma iya… Tapi kita nggak akan
bisa… Kita nggak akan mampu membayar waktu yang telah berlalu agar kembali!
Kita nggak bisa Ma… Kita nggak akan mampu membeli waktu. Semua yang berlalu
biarlah berlalu Ma, kita harus mengikhlaskan Sena…”, ucap Ayah Sena tegas. Sore
itu pun berlalu begitu saja, dengan senja kuning yang indah dan terpampang
pelangi disana.
*Note: guys… hargailah waktu yang ada ya, karena setiap detiknya
mengandung makna penting yang tak terduga, see you ^^
Jumat, 07 Juni 2013
Rabu, 05 Juni 2013
Langganan:
Postingan (Atom)